Bankaltimtara

Penerapan Restitusi untuk Korban Pidana Masih Lemah, Ini Alasannya Menurut Ketua PERADI

Penerapan Restitusi untuk Korban Pidana Masih Lemah, Ini Alasannya Menurut Ketua PERADI

Ketua DPC Peradi Balikpapan Agus Amri.-istimewa-

SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM- Restitusi sebagai hak korban tindak pidana kerap disebut dalam regulasi, tapi jarang menjadi bagian nyata dari pemulihan keadilan.

Ketua DPC SAI PERADI Balikpapan, Agus Amri, menilai mekanisme ini masih jauh dari optimal. Meski sesungguhnya memiliki landasan hukum yang kuat.

"Sepertinya ini juga jarang sekali digunakan. Padahal, ini instrumen yang seharusnya bisa dimaksimalkan oleh korban tindak pidana untuk menuntut kompensasi dari pelaku," ujar Agus saat dihubungi, Rabu 6 Agustus 2025.

Agus menjelaskan, dalam konteks hukum, restitusi adalah ganti rugi yang wajib dibayarkan oleh pelaku kepada korban atau keluarganya. Terutama bila korban telah meninggal dunia.

BACA JUGA:Sidang Restitusi Kali Pertama Digelar PN Samarinda, Sidangkan Tuntutan Istri Korban Pembunuhan

"Jadi, kalau misalnya itu kasus pencurian, bisa berupa pengembalian harta. Kalau korbannya mengalami luka atau cacat, bisa berupa penggantian biaya pengobatan atau kehilangan pekerjaan,"jelasnya.

Ia menambahkan bahwa perbedaan utama antara restitusi dan kompensasi terletak pada siapa yang membayar.

Restitusi dibayarkan langsung oleh pelaku. Sementara kompensasi berasal dari negara. Dan dasar hukumnya pun sudah cukup jelas.

Yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

BACA JUGA:Perdana di Kaltim, PN Samarinda Terima Permohonan Restitusi, Korban Pidana Boleh Menuntut Ganti Rugi

"Di sana disebutkan di Pasal 1 angka 11, definisi restitusi," kata Agus.

Ia juga menyebut Pasal 7A dan 7D, yang mengatur hak korban serta mekanisme pengajuannya.

"Selain itu, ada juga PP Nomor 43 Tahun 2017 tentang pelaksanaan restitusi bagi anak korban tindak pidana, dan Perma Nomor 1 Tahun 2022. Perma ini mengatur secara teknis bagaimana LPSK bisa mengajukan restitusi ke pengadilan," tambahnya.

Namun demikian, Agus menyebut ada kendala struktural yang signifikan dalam penerapan di lapangan. Salah satunya adalah ketiadaan pengaturan eksplisit dalam KUHAP.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: