Penerapan Restitusi untuk Korban Pidana Masih Lemah, Ini Alasannya Menurut Ketua PERADI
Ketua DPC Peradi Balikpapan Agus Amri.-istimewa-
"Sayangnya, dalam KUHAP kita, hal ini belum diatur secara tegas. Akibatnya, pelaksanaan restitusi banyak yang bergantung pada regulasi di luar KUHAP."
"Ini yang membuat aparat penegak hukum kadang ragu atau bahkan tidak tahu bagaimana menindaklanjuti permintaan restitusi," sambung Agus.
Agus lalu mengurai dua jalur utama dalam pengajuan restitusi.
Yakni lewat proses peradilan pidana yang sedang berjalan. Atau melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
BACA JUGA:Tom Lembong Laporkan Majelis Hakim yang Vonis Dirinya ke MA dan KY
Dalam mekanisme pertama, jaksa bisa menggabungkan tuntutan pidana dengan ganti rugi kepada korban.
"Jaksa Penuntut Umum sebenarnya bisa saja memasukkan permohonan restitusi dalam surat tuntutan. Jadi, misalnya selain menuntut penjara, juga menuntut pelaku untuk membayar ganti rugi kepada korban. Dan hakim akan mencantumkan itu dalam amar putusannya," terangnya.
Adapun, Alternatif kedua adalah mengajukan permohonan langsung ke LPSK.
Korban atau ahli warisnya bisa mengajukan ke LPSK. Yang nantinya, LPSK akan memverifikasi dan menghitung kerugian.
Setelah itu mereka mengajukan ke pengadilan, baik secara langsung maupun melalui koordinasi dengan jaksa dalam perkara pidana yang berjalan.
Namun Agus tak menampik, pelaksanaan putusan restitusi di lapangan masih lemah.
BACA JUGA:Emir Moeis Kritik Vonis Penjara 3,5 Tahun Hasto Kristiyanto: Sarat Politisasi
Menurutnya, ada beberapa faktor utama yang membuat restitusi belum efektif. Di antaranya kurangnya pemahaman aparat penegak hukum.
"Tidak semua jaksa tahu atau paham bagaimana menggabungkan permohonan restitusi. Hakim pun kadang enggan memasukkan amar tentang ganti rugi karena dianggap bukan kewenangannya atau buktinya tidak cukup," bebernya.
Lebih lanjut, mekanisme eksekusi putusan restitusi juga belum tegas.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

