Politik Komunikasi: Saat Diplomasi Butuh Narasi
Rina Juwita, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman.-(Foto/ Dok. Pribadi)-
BEGITU Donald Trump kembali ke Gedung Putih awal tahun 2025 ini, dunia langsung menahan napas. Bukan hanya karena isu geopolitik, tapi karena satu hal yang lebih konkret dan menyentuh dapur negara: perdagangan.
Tidak butuh waktu lama, Trump kembali dengan gaya khasnya. Lewat pidato yang disebutnya sebagai “Liberation Day”, ia mengumumkan tarif 10% untuk semua negara.
Dan untuk negara-negara yang dianggap “unfair” atau “abusing America”? Siap-siap dapat tambahan tarif sampai 32%. Tidak disebutkan langsung, tapi semua orang tahu: Indonesia masuk dalam daftar itu.
Trump memang tidak menyampaikan sesuatu secara biasa. Ia tidak menjelaskan dengan tabel neraca dagang atau pasal WTO. Ia menyampaikannya dengan kalimat pendek, provokatif, dan nyaris teatrikal.
“They are ripping us off!”, katanya.
Teriakan itu bukan ditujukan untuk para diplomat. Tapi untuk publiknya sendiri.
BACA JUGA: Budaya Halal Bi Halal: Jalin Silaturahmi, Membangun Harmoni dalam Perbedaan
Tapi masalahnya, dunia ikut mendengar. Dan ketika dunia mendengar, maka pasar bergerak. Ketika pasar bergerak, negara-negara seperti Indonesia mulai mengatur ulang napas.
Indonesia, yang pada 2024 mencatat surplus dagang sekitar USD 17,9 miliar dengan AS, tentu berada dalam posisi rawan. Tapi ini bukan cerita soal angka. Ini cerita soal narasi.
Karena hari ini, perdagangan internasional bukan hanya soal ekspor-impor, tapi soal siapa yang lebih dulu dan lebih keras bicara.
Dalam hal itu, Trump selalu menang start.
Satu kalimat darinya bisa mengubah kesepakatan. Bukan karena substansi kalimat itu, tapi karena cara ia mengatakannya.
Dan Trump tak sedang main-main. Ini bukan lagi kebijakan ekonomi, tapi aksi komunikasi.
BACA JUGA: Mini Ensiklopedia Masyarakat Adat Balik: Merawat Ingatan yang Akan Musnah
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
