Bankaltimtara

Komunikasi Tanpa Kekuasaan Itu Dialog, Kekuasaan Tanpa Komunikasi Itu Represif

Komunikasi Tanpa Kekuasaan Itu Dialog, Kekuasaan Tanpa Komunikasi Itu Represif

Rina Juwita, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman.-(Foto/ Dok. Pribadi)-

Oleh: Rina Juwita

Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Mulawarman

KALAU Anda pernah dihentikan di jalan oleh seorang polisi yang tidak menjelaskan alasan pemeriksaan, lalu menahan STNK Anda karena “operasi rutin”, Anda mungkin pernah merasakan wajah kekuasaan tanpa komunikasi. Dan Anda juga tahu: itu bukan rasa aman. Itu rasa dipaksa diam.

Hari Bhayangkara kembali dirayakan dengan megah. Upacara, baliho, parade, kendaraan taktis, testimoni tokoh-tokoh, hingga konten TikTok bertema “Polri Presisi, Siap Melayani” menghiasi ruang publik dan media sosial.

Tapi ketika sorot kamera dimatikan, percakapan publik tetap menyisakan ironi. Di grup WhatsApp warga, di warung kopi, bahkan di kolom komentar media sosial, muncul pertanyaan-pertanyaan lirih: apakah polisi hari ini benar-benar hadir untuk rakyat?

Kita tidak berbicara tentang kebencian pada institusi. Kita bicara tentang kepercayaan. Dan dalam relasi publik, kepercayaan hanya tumbuh lewat komunikasi.

Tapi sayangnya, dalam banyak hal, komunikasi publik Polri masih terasa satu arah. Seragamnya rapi, protokolnya lengkap, tapi telinganya belum selalu terbuka.

Tingkat kepercayaan terhadap Polri memang sempat anjlok ke angka 54% pasca kasus besar di tahun 2022, namun berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia (Juni 2023), kepercayaan publik kembali naik signifikan ke 76,4%.

Di akhir tahun, tepatnya Desember 2023 hingga Januari 2024, angka itu sedikit turun ke 75,3% menurut survei lanjutan dari Indikator.

Lalu pada survei Litbang Kompas (Juni 2024), citra positif Polri tercatat di angka 73,1%. Artinya, meski secara umum publik mengakui adanya perbaikan, masih ada sekitar seperempat warga Indonesia yang belum yakin sepenuhnya.

Tren ini menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap institusi tidak dibangun dalam sehari, dan lebih rentan terhadap fluktuasi ketika komunikasi publik gagal merespons ekspektasi masyarakat.

Penurunan tipis di 2024 misalnya, bisa jadi tidak terkait dengan kasus besar, tapi justru karena publik merasa tidak cukup ‘didekati’. Karena dalam era komunikasi digital, diam bukan emas—ia bisa menjadi lubang reputasi.

Komunikasi yang tidak hadir pada saat publik membutuhkan klarifikasi atau kepastian justru membuka ruang bagi kecurigaan, asumsi, dan narasi liar yang merusak kredibilitas.

Dan siapa yang lupa dengan kisah viral beberapa waktu lalu di media sosial, tentang seorang pemotor hendak mengantar ibunya yang sakit ke rumah sakit namun dihentikan karena melanggar jalur ganjil-genap di Jakarta?

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: