Bankaltimtara

Politik Komunikasi: Saat Diplomasi Butuh Narasi

Politik Komunikasi: Saat Diplomasi Butuh Narasi

Rina Juwita, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman.-(Foto/ Dok. Pribadi)-

Di zaman ketika satu cuitan bisa lebih didengar daripada satu buku laporan ekonomi, kita tidak bisa hanya mengandalkan penjelasan. Kita harus bisa menyampaikan makna. 

Dan itu berarti: kita perlu strategi komunikasi publik, bukan hanya strategi dagang. 

Pertanyaan besarnya: apakah kita siap untuk itu? Apakah kita siap membingkai Indonesia bukan sebagai negara pengemis pasar, tapi sebagai mitra yang sejajar dan rasional? 

Bukan hanya dengan angka, tapi dengan narasi yang hidup? 

BACA JUGA: Makan Siang Satu Anak, Keluarga Kelaparan: Ironi Pemangkasan Anggaran

Kita tidak perlu meniru gaya Trump yang “punchy” dan “brash”. Tapi kita bisa belajar darinya bahwa dalam politik perdagangan global, framing adalah separuh dari kekuasaan. 

Dan framing itu tidak cukup hanya muncul saat kita diserang. Ia harus dibangun sejak awal. Lewat kehadiran media, suara diaspora, kampanye diplomatik, hingga pernyataan menteri yang tak hanya aman, tapi juga menyentuh. 

Kita perlu juru bicara yang tak hanya fasih dalam bahasa internasional, tapi juga luwes dalam membangun persepsi. Kita perlu tampil dalam diskusi global bukan hanya sebagai peserta, tapi sebagai narrator. 

Dan di sisi lain dunia, Cina -yang selalu jadi sasaran utama retorika Trump- tidak lagi sekedar merespons dengan tarif balasan. Kali ini mereka main di dua kaki: ekonomi dan komunikasi. 

Alih-alih hanya mengutuk, mereka langsung menggencarkan media internasional dengan narasi soal kestabilan ekonomi, keterbukaan pasar, dan peran Tiongkok dalam “restoring fair global trade” atau memulihkan perdagangan global yang adil. 

Mereka tahu: ini bukan hanya perang angka, ini perang wacana. Bahkan media berbahasa Inggris milik mereka pun mulai memperkuat narasi bahwa Trump “bullying other countries for self-interest under the guise of fairness” atau menggertak untuk menang sendiri. 

BACA JUGA: Abstraksi Tugu Pesut: Ketika Seni Visual Berhadapan dengan Identitas Kultural

Dalam hal ini, Cina belajar dari pertarungan naratif sebelumnya. Mereka tidak hanya bereaksi, tapi mulai berebut ruang bicara. 

Indonesia?

Kita tidak bisa menghindari kebijakan tarif. Tapi kita bisa mengelola bagaimana kebijakan itu dipahami dunia. Kita tidak bisa mencegah Trump bicara. Tapi kita bisa memilih untuk tidak membiarkan dia bicara sendirian.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: