Tata Kelola Keuangan Daerah Kaltim di Persimpangan: Kenaikan Anggaran Tapi Pendapatan Menurun
Arcintia Rahmadani.--
Oleh: Arcintia Rahmadani*
Rancangan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD-P) Provinsi Kalimantan Timur tahun anggaran 2025 yang disampaikan pada rapat paripurna DPRD Kaltim, Senin (22/9/2025) mengungkap sebuh paradoks serius dalam tata kelola keuangan daerah Kalimantan Timur.
Dimana, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur bersama DPRD menyepakati kenaikan Perubahan APBD 2025 dari awalnya Rp 21 triliun menjadi Rp 21,74 triliun.
Kenaikan anggaran sebesar Rp 740 miliar lebih dari postur awal yang diusulkan, sebenarnya menyembunyikan kemunduran signifikan dalam kemampuan fiskal yang sesungguhnya terlihat dari penurunan pendapatan daerah yang mencapai Rp 950 miliar atau 4,73% dari semula Rp. 20,10 triliun menjadi 19,14 triliun.
Baca Juga: Kericuhan Massa: Analogi Kapal Induk dan Memimpin dengan Buku
Kondisi ini menunjukkan bahwa sumber-sumber pendapatan asli daerah maupun transfer dari pemerintah pusat mengalami pergerakan yang tidak bisa diabaikan.
Di sisi lain, belanja daerah justru naik sebesar Rp 746,85 miliar (3,56%), dari semula 20,95 triliun menjadi Rp 21,69 triliun, dimana memperbesar defisit struktural yang mengganggu prinsip keseimbangan anggaran. Kenaikan belanja ini tentu harus dipertanggungjawabkan dengan hasil yang nyata berupa layanan publik yang lebih baik dan pembangunan daerah yang merata.
Baca Juga: Naiknya Pajak Bumi dan Bangunan dan Pengaruh Jasa Upah Pungut (Japung)
Namun, naiknya belanja justru diperparah dengan lonjakan pembiayaan daerah khususnya penerimaan pembiayaan yang melonjak 153% dari Rp 900 miliar menjadi Rp 2,59 triliun.
Ini menunjukkan ketergantungan keuangan pemerintah daerah kepada sumber pembiayaan eksternal meningkat secara tajam.
Fenomena ini menandakan pemerintah daerah mengambil utang atau cara pembiayaan lain yang berisiko tanpa kejelasan mitigasi risiko fiskal jangka panjang.
Apakah kenaikan belanja ini didukung oleh program prioritas yang efektif dan berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat? Ataukah justru menjadi ladang pemborosan, bahkan potensi korupsi, mengingat mekanisme pengawasan publik yang selama ini masih lemah?
Baca Juga: Melacak Jejak Nieuwenhuis di Pedalaman Borneo: Dari Ekspedisi Kolonial Hingga Ingatan Kolektif
Menurut saya, fenomena ini menempatkan tata kelola keuangan daerah Kalimantan Timur pada titik kritis. Pada dasarnya, tata kelola keuangan daerah harus selalu menjunjung tinggi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas sebagai fondasi utama agar pengelolaan keuangan berjalan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
