Nikah Siri Rugikan Pihak Perempuan, Kemenag Samarinda Imbau Pasangan Nikah di KUA
Kasi Bimas Islam Kemenag Samarinda, Ikhwan Saputera-Disway/ Mayang-
SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM- Fenomena pernikahan siri menjadi perhatian serius di Kota Samarinda.
Maraknya tindakan penikahan ini didorong berbagai faktor di tengah masyarakat, di antaranya biaya pernikahan resmi yang dianggap mahal, proses administrasi yang dianggap rumit, hingga tekanan keluarga atau lingkungan untuk segera menikah.
Selain itu, aturan batas usia minimal 19 tahun untuk menikah secara resmi, juga menjadi salah satu alasan banyaknya pasangan muda memilih jalur pernikahan dini secara siri.
Padahal, Kementerian Agama (Kemenag) Samarinda telah mengimbau masyarakat agar mencatatkan pernikahannya secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA).
BACA JUGA: Penghulu Liar Meresahkan, jadi Faktor Penyebab Maraknya Pernikahan Siri di Samarinda
BACA JUGA: Pelaksanaan Sidang Perkara Pernikahan di Mahulu Banyak Temui Kendala, Kemenag Berupaya Cari Solusi
Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam, Kemenag Samarinda, Ikhwan Saputera, menegaskan, bahwa praktik nikah siri bisa berdampak buruk dapat menyulitkan perempuan dan anak di kemudian hari.
"Nikah siri adalah pernikahan yang sah menurut agama Islam, tetapi tidak tercatat dalam administrasi negara. Pasangan yang menikah secara siri tetap harus memenuhi rukun nikah, seperti kehadiran dua mempelai, wali, ijab kabul, serta mahar," ungkap Ikhwan, Jumat (7/2/2025).
Meski pemerintah telah menetapkan aturan mengenai batas usia pernikahan, berbagai faktor seperti tekanan sosial, kondisi ekonomi, serta pemahaman agama yang kurang tepat, membuat praktik ini masih terjadi.
Pernikahan yang tidak tercatat secara resmi berisiko menyebabkan berbagai persoalan, mulai dari administrasi kependudukan hingga sengketa warisan.
BACA JUGA: Selama Ramadan, THM di Samarinda Tutup, Tempat Hiburan Lain Diatur Jam Operasional
BACA JUGA: Pembobol Rumah Warga di Samarinda Seberang Diringkus, Curi 40 Gram Emas
Tentunya, hal ini menyulitkan status anak yang lahir dari pernikahan siri hingga merugikan perempuan.
"Dampaknya sangat luas, terutama bagi anak yang tidak memiliki kejelasan status hukum. Hak-hak sipil mereka, termasuk akta kelahiran dan KTP, bisa terhambat. Selain itu, persoalan warisan juga menjadi kompleks, terutama jika pasangan memiliki harta yang banyak," ujar Ikhwan.
Dia mengakui bahwa hingga saat ini Kemenag Kota Samarinda belum memiliki data pasti terkait jumlah pernikahan siri.
Namun, pernikahan resmi yang tercatat di KUA Samarinda mencapai rata-rata 5.500 pernikahan setiap tahunnya.
BACA JUGA: Remaja 15 Tahun di Anggana Jadi Korban Pencabulan Paman Sendiri
BACA JUGA: Pelaku KDRT di Tenggarong Berhasil Diringkus Setelah Melarikan Diri ke Hutan
"Jumlah ini juga berdasarkan musim nikah, misal seperti di masa-masa lebaran haji, sebelum puasa, tapi biasanya setelah hari raya Lebaran sampai Iduladha tidak terlalu banyak," terang Ikhwan.
Sebagai langkah pencegahan pernikahan siri, Kemenag terus melakukan edukasi kepada masyarakat.
Sosialisasi dilakukan melalui berbagai program, termasuk majelis taklim, penyuluhan, bimbingan perkawinan (Bimwin), dan bimbingan remaja usia sekolah (BRUS).
Imbauan ini juga sejalan dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2024 yang mengatur pencatatan pernikahan bagi umat Islam.
BACA JUGA: Bulog Samarinda Pastikan Stok Beras Aman untuk Penuhi Kebutuhan Selama Ramadan dan Program MBG
BACA JUGA: Dinkes Kaltim Gencarkan Edukasi Aplikasi Satu Sehat Mobile di Rumah Sakit
"Pada saat ada kesempatan kami selalu sampaikan bahwa pentingnya pernikahan itu sewajarnya harus dicatatkan. Memang awalnya nikah sirih terasa mudah, tetapi dalam jangka panjang, perempuan dan anaklah yang paling dirugikan," tegasnya.
Kemudian penyebab lain, salah satunya adalah keberadaan penghulu liar, yaitu mereka yang menikahkan pasangan di luar ketentuan resmi.
Ikhwan menilai bahwa fenomena ini terjadi karena pasangan yang tidak memenuhi syarat memilih jalan pintas.
"Di KUA, ada aturan yang harus dipenuhi, seperti minimal usia 19 tahun, izin orangtua, dan masa idah bagi yang sudah pernah menikah. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka pernikahan ditolak. Sayangnya, ada yang memilih mencari penghulu liar sebagai alternatif," ungkapnya.
BACA JUGA: Hobi Menonton Film atau Serial Drama secara Maraton? Ini Dampak Buruknya Bagi Kesehatan
BACA JUGA: Psikolog Ungkap Cara Menyusun Resolusi Tahun Baru yang Bebas Stres
Di Samarinda sendiri, terdapat 17 penghulu resmi, yang terdiri dari 16 ASN dan 1 PPPK. Mereka bertugas melayani pernikahan di dalam maupun di luar kantor KUA, termasuk di akhir pekan.
"Insya Allah, dengan jumlah penghulu yang ada, kami bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang ingin menikah sesuai adat dan budaya masing-masing. Namun, jika ada pasangan yang menggunakan penghulu liar, kami hanya bisa mengetahui hal itu jika ada laporan dari masyarakat," jelasnya.
Meski secara agama ada perbedaan pandangan terkait sah atau tidaknya perkawinan sirih, Ikhwan menegaskan, bahwa pencatatan pernikahan merupakan bagian dari kepatuhan terhadap aturan negara.
Oleh karena itu, Kemenag Samarinda menekankan bahwa pencatatan pernikahan di KUA merupakan langkah penting untuk memastikan legalitas serta perlindungan hukum bagi pasangan dan anak-anak mereka.
BACA JUGA: DPD RI Minta Masukan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim
BACA JUGA: Ekonomi Kalimantan Timur 2024 Tumbuh 6,17 Persen, Melebihi Rata-rata Nasional
"Kami mengajak masyarakat untuk menaati Rasulullah dan Ulil Amri, dalam hal ini pemerintah dan Kemenag. Dengan begitu, setelah menaati prosedur untuk menikah di KUA, hak-hak pasangan dan anak tetap terlindungi," pungkas Ikhwan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
