Bolehkah Pergi Haji Jika Fisik Tidak Mampu?

Bolehkah Pergi Haji Jika Fisik Tidak Mampu?

Jamah haji yang sakit di Mekah.-freepik-

Kelima, adanya mahram, suami, atau rombongan yang membuat wanita aman melakukan perjalanan.  Keenam, ini yang juga tak kalah penting dan sering dilupakan, adalah kesehatan jasmani. Jika salah satu dari 

keenam syarat ini tidak mampu dipenuhi oleh calon jamaah haji, maka kewajiban haji sudah gugur baginya. 

Para ulama menyebutkan bahwa jika memaksakan pergi berhaji tapi sejumlah prasyarat tadi tidak 

terpenuhi adalah suatu bentuk ghurur, ditipu oleh setan. Meskipun hajinya sendiri sah, berpahala dan menggugurkan kewajibannya. 

Namun demikian, orang yang demikian ini juga dianggap berdosa dikarenakan alias terkena tipu daya setan. Haji yang semacam ini sangat sulit diberi predikat mabrur. 

Di zaman dulu, perjalanan haji sangatlah jauh, melelahkan, dan berisiko tinggi. Maka tak heran jika banyak ulama-ulama yang tidak berhaji. Maka tak mengherankan bila beberapa ulama berfatwa bahwa ahl magrib alias penduduk Maroko dan sekitarnya, di zaman dulu, tidak wajib berhaji.

BACA JUGA:Bacaan Doa Qunut Nazilah, Bantuan Spiritual untuk Warga Gaza, Palestina  

Ulama Malikiyah terkemuka, Al-Thurthusyi, berfatwa dengan tegas bahwa penduduk Maroko dan sekitarnya (sekali lagi: di zaman dulu!) tidak wajib berhaji. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah jarak yang sangat jauh. Ia menulis:  فمن غرّ وحجّ سقط فرضه ولكنه آثم بما ارتكب من الغرر 

“Jika seseorang terus memaksa berhaji, maka kewajiban haji tetap tertunaikan namun ia mendapat dosa sebab ia tanpa sadar terperangkap tipu daya setan (gharar).” 

BACA JUGA:Doa Umat Muslim saat Hujan Deras Dikhawatirkan Banjir

Oleh sebab itu, jika haji tidak terlaksana maka hal itu bukanlah akhir dari segalanya. Banyak jalan ibadah lain yang bisa dilaksanakan. Bagaimana pun, menjaga keselamatan diri lebih didahulukan oleh agama dari pada ajaran-ajaran agama yang bersifat ritual (idza ta‘âradla ḫifdhun-nafs ‘ala ḫifdhid-dîn quddima ḫifhhun-nafs). 

Bahkan yang bersifat akidah, jika keselamatan diri terancam, maka seseorang boleh untuk ‘berpura-pura’ melepaskan aqidah untuk menyelamatkan diri.  Tentu saja logika yang sama bisa kita gunakan untuk haji; jika kesehatan terancam, tak perlu bersedih, menjaga kesehatan juga jauh lebih bernilai ibadah dari pada haji. 

Begitu pula sebaliknya. Memaksa diri untuk terus berangkat haji tidak membuat seseorang lebih dianggap teguh ibadahnya dari pada yang mendahulukan keselamatan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: