Menimbang Ulang Koperasi Merah Putih: Aspirasi Desa di Tengah Instruksi Sentralistik
Wira Bharata, Dosen Administrasi Bisnis, Universitas Mulawarman.-Dok. Wira Bharata.--
Oleh: Wira Bharata
(Dosen Administrasi Bisnis, Universitas Mulawarman)
PEMERINTAH pusat melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025 mendorong pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP) di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Program ini diklaim sebagai strategi baru untuk menggerakkan ekonomi desa. Namun demikian, cara pelaksanaannya menuai banyak pertanyaan dari akar rumput sekaligus menjadi kekhawatiran di tingkat lokal.
Sejak pertengahan Juni 2025, Kementerian Desa menyampaikan bahwa pencairan Dana Desa tahap kedua hanya bisa dilakukan jika musyawarah pembentukan koperasi telah digelar. Dengan kata lain, pembentukan koperasi menjadi semacam “prasyarat teknis” ketimbang hasil musyawarah warga.
Dilansir dari merdeka.com (7 Juni 2025), tak heran jika banyak kepala desa yang merasa terdesak dan menganggap kebijakan ini terburu-buru serta mengabaikan kesiapan lokal dengan karakter yang beragam (Merdeka.com, 7 Juni 2025).
Baca Juga: Kurikulum Berganti, Ketimpangan Tak Kunjung Pergi
Problematika utama tak berhenti pada soal waktu dan prosedur. Laporan dari CELIOS (2025) menunjukkan bahwa 76 persen perangkat desa menolak skema pembiayaan koperasi yang bersumber dari pinjaman bank, dengan Dana Desa digunakan untuk mencicilnya.
Sebagian besar khawatir anggaran desa akan terserap habis untuk kebutuhan koperasi, sementara program-program penting seperti pembangunan jalan, irigasi, posyandu, dan pengadaan alat tani terancam tertunda. Sebaliknya, anggaran tersebut justru habis untuk menopang koperasi yang mungkin belum tentu dibutuhkan oleh warga.
Situasi ini bukan sekadar soal teknis pembiayaan. Instruksi yang bersifat seragam dan top-down ini secara langsung mengganggu prinsip otonomi daerah dan kemandirian desa. Pemerintah desa diposisikan sebagai pelaksana teknis kebijakan pusat, bukan lagi sebagai penggerak pembangunan mandiri.
Padahal, semangat UU Desa justru mendorong desa agar mampu merencanakan pembangunan sesuai kebutuhan dan potensi lokalnya. Alih-alih memperkuat pemberdayaan, skema Kopdes MP justru berpotensi menambah beban fiskal, mengalihkan prioritas pembangunan, dan menempatkan pemerintah desa sebagai pelaksana kebijakan pusat tanpa ruang diskusi.
Apalagi sebagian modal koperasi berasal dari Dana Desa (dana publik yang semestinya dikelola secara partisipatif dan transparan).
Baca Juga: Pancasila: Yang Lahir dengan Cinta
Desa memang membutuhkan koperasi, tetapi koperasi yang tumbuh dari bawah (berangkat dari kebutuhan dan semangat kolektif masyarakat, bukan berdasarkan tekanan birokratis). Jika ingin mendorong pertumbuhan ekonomi desa melalui koperasi, maka pendekatannya harus dimulai dari bawah, mendengar suara warga, dan menghormati hak desa untuk menentukan jalannya sendiri.
Koperasi yang sehat harus tumbuh dari kebutuhan riil komunitas, bukan hasil proyek instan. Proses musyawarah, edukasi kelembagaan, serta pelatihan pengelolaan koperasi menjadi kunci keberhasilan jangka panjang. Tanpa proses ini, Kopdes MP hanya akan menjadi koperasi ‘kertas’ (ada secara administratif tetapi mati secara fungsional).
Pendekatan kebijakan pembentukan Kopdes MP yang terkesan “memaksa” juga diyakini berpotensi merusak relasi antar warga. Di beberapa daerah, muncul gesekan antara aparat desa dan masyarakat yang menolak terburu-buru membentuk koperasi hanya demi pencairan Dana Desa. Fenomena ini menimbulkan konflik horizontal yang seharusnya bisa dihindari bila proses lebih partisipatif sejak awal.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
