Gaya Komunikasi Kerap Picu Sentimen Negatif Masyarakat, Pengamat Sebut Pejabat Publik Minim Empati
Pengamat Komunikasi Publik Universitas Mulawarman (Unmul), Silviana Purwanti.-istimewa-Dok. Silviana Purwanti
SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM - Pengamat Komunikasi Publik Universitas Mulawarman (Unmul), Silviana Purwanti, menilai gaya komunikasi publik pejabat saat ini justru kerap memicu sentimen negatif di tengah masyarakat.
Alih-alih menenangkan masyarakat, pernyataan yang disampaikan pejabat dianggap cenderung defensif, argumentatif, dan kurang menghadirkan empati.
“Komunikasi publik para pejabat yang kita dengar di media lebih banyak bernuansa defensif. Bukan penyampaian yang menenangkan, justru menambah gaduh. Itu yang saya lihat,” ujar Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi tersebut belum lama ini.
Menurut Silviana, gaya komunikasi yang ditunjukkan pemerintah sering kali menutup ruang dialog.
Pejabat kerap langsung menangkis kritik masyarakat tanpa terlebih dahulu mendengarkan, menganalisis, lalu menyampaikan jawaban secara elegan.
BACA JUGA : Geram Unjuk Rasa di DPRD PPU, Massa Sampaikan 12 Tuntutan
“Harusnya komunikasi publik lebih edukatif, informatif, dan empatik. Dengan begitu masyarakat merasa dihargai ketika menyampaikan pendapat,” tambahnya.
Silviana menilai fenomena ini memperburuk kepercayaan publik. Banyak warga yang sudah kecewa dari pemerintahan sebelumnya, sehingga menimbulkan trauma kolektif di masyarakat Indonesia.
Ia juga menyinggung adanya ekspresi non-verbal pejabat yang dinilai tidak pantas, seperti gaya bercanda atau berjoget di ruang publik, yang justru mempertebal kesan meremehkan aspirasi masyarakat.
“Itu malah menyakiti hati rakyat. Kesannya menantang, bukan menenangkan,” tegasnya.
BACA JUGA : Budgos Samarinda Kecewa Atribut Ojol Dicatut dalam Kericuhan Aksi DPRD Kaltim
Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, menurut Silviana juga menuntut sensitivitas lebih tinggi dalam menyampaikan pesan publik.
Perbedaan latar belakang sosial dan emosi masyarakat membuat pesan pemerintah mudah salah dipahami dan menimbulkan keresahan.
“Benang merahnya tidak ketemu. Masyarakat akhirnya semakin bingung dan curiga. Komunikasi yang seharusnya menjembatani justru memperlebar jarak,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
