Bankaltimtara

Anak di Balikpapan Terancam Putus Sekolah karena Ranking, Pengamat Pertanyakan Janji Pendidikan Gratis

Anak di Balikpapan Terancam Putus Sekolah karena Ranking, Pengamat Pertanyakan Janji Pendidikan Gratis

Pengamat sosial, sekaligus Dosen FISIP Universitas Mulawarman, Sri Murlianti mempertanyakan janji pendidikan gratis setelah muncul video viral anak terancam putus sekolah karena gagal ranking sehingga tidak diterima di sekolah negeri.-(Istimewa/ Dok. Pribadi)-

BACA JUGA: Komisi IV: Sekolah Swasta Akan Tergerus Kalau Biaya Pendidikan Digratiskan

Ranking akademik, ujarnya, bukan satu-satunya ukuran kecerdasan anak. 

Namun sistem seleksi saat ini masih mendewakan capaian nilai tanpa mempertimbangkan faktor latar belakang sosial.

"Yang jauh lebih tidak adil adalah sistem pendidikan kita yang tidak memungkinkan afirmasi bagi semua anak dengan orang tua kurang mampu, atau yang sedikit mampu tetapi memiliki banyak tanggungan," tuturnya.

Sri menegaskan, kebijakan afirmasi seharusnya dirancang lebih luas, terutama di kota besar. 

BACA JUGA: Wamen Stella Apresiasi Program GratisPol Pendidikan Pemprov Kaltim

"Kota se-modern dan se-kaya Balikpapan semestinya tidak kesulitan membuat kebijakan afirmasi untuk memastikan semua anak, yang orang tuanya tidak sanggup menyekolahkan anak ke sekolah swasta tetap tertampung di sekolah negeri. Ini krusial karena pendidikan dasar adalah amanah konstitusi," ungkapnya.

Meski tekanan ekonomi kerap disebut sebagai pemicu utama kekerasan verbal di rumah, Sri pun menjelaskan bahwa persoalan tersebut lebih kompleks. 

Misalnya, faktor pendidikan orang tua, wawasan pengasuhan, dukungan keluarga besar, hingga peran lingkungan sekitar menjadi elemen yang menentukan apakah tekanan ekonomi akan berkembang menjadi kekerasan dalam rumah tangga.

Ia mencontohkan sejumlah keluarga miskin yang tetap mampu mempertahankan pola pengasuhan sehat karena memiliki modal sosial yang kuat. 

BACA JUGA: Sekolah Rakyat di Samarinda Dimulai, 100 Peserta Jalani Pemeriksaan Kesehatan Awal

"Ada keluarga miskin yang disokong keluarga besar, atau mendapatkan beasiswa skema khusus untuk anak-anak tidak mampu. Tapi banyak keluarga 'tanggung' yang tidak tergolong miskin ekstrem juga tidak mampu, akhirnya terkendala membiayai pendidikan, apalagi bila anaknya lebih dari satu," beber Sri.

Dalam situasi serba terbatas itulah, ia menyampaikam bahwa risiko frustrasi menjadi lebih besar, terutama jika wawasan parenting orang tua tidak memadai. 

"Tanpa modal sosial yang cukup, tentu rentan melahirkan pola pengasuhan yang kurang sehat," imbuhnya.

Dampak pola pengasuhan tidak sehat pada anak juga bisa berlangsung dalam jangka panjang. Sri menuturkan, relasi kuasa yang timpang di keluarga kerap meninggalkan luka psikologis mendalam.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait