Anak di Balikpapan Terancam Putus Sekolah karena Ranking, Pengamat Pertanyakan Janji Pendidikan Gratis
Pengamat sosial, sekaligus Dosen FISIP Universitas Mulawarman, Sri Murlianti mempertanyakan janji pendidikan gratis setelah muncul video viral anak terancam putus sekolah karena gagal ranking sehingga tidak diterima di sekolah negeri.-(Istimewa/ Dok. Pribadi)-
BALIKPAPAN, NOMORSATUKALTIM - Potongan video berdurasi beberapa menit yang memperlihatkan seorang ibu di Balikpapan memarahi anaknya lantaran gagal meraih ranking teratas di sekolah telah menyebar luas di media sosial pada pekan ini.
Dalam rekaman tersebut, si ibu berkali-kali mengancam akan menghentikan pendidikan anak dan memaksanya bekerja membantu keluarga.
Peristiwa yang terekam itu bukan hanya memancing keprihatinan publik, namun juga memunculkan perdebatan mengenai tekanan ekonomi dan ketidakadilan akses pendidikan yang dihadapi keluarga berpenghasilan rendah.
Pengamat sosial Universitas Mulawarman, Sri Murlianti, menilai pola pengasuhan penuh tekanan yang tampak dalam video tersebut merupakan respons yang muncul dari kemiskinan struktural yang sukar dihindari.
BACA JUGA: Anak di Balikpapan Nyaris Putus Sekolah karena Gagal Ranking, Begini Tanggapan Wali Kota
Ia menyebut, keluarga rentan kerap memaksakan disiplin ketat bukan semata-mata niat menyakiti anak.
Melainkan karena terdesak oleh sistem pendidikan yang menjadikan capaian akademik sebagai syarat utama akses sekolah negeri.
"Ini lebih ke arah disiplinasi anak untuk mengakali kendala tembok struktural yang sangat sulit dihancurkan," terang Sri Murlianti saat diwawancarai NOMORSATUKALTIM, pada Jumat, 11 Juli 2025.
Menurutnya, kebijakan pendidikan hanya memberi peluang lebih mudah bagi anak-anak yang memiliki peringkat akademik tinggi.
Di luar kategori afirmasi seperti difabel, miskin ekstrem, atau jarak tempat tinggal maksimal 400 meter dari sekolah, banyak keluarga tidak mampu terpaksa bergulat dengan biaya sekolah swasta yang berat.
Walhasil, bagi Sri, kondisi itu membuat banyak orang tua berusaha sedapat mungkin agar anak meraih ranking bagus, meskipun cara itu berisiko menimbulkan tekanan psikis.
"Pengasuhan yang dianggap menekan ini adalah manifestasi dari kekhawatiran orang tua akan keterbatasan kursi sekolah negeri, walaupun tentu tidak bisa sepenuhnya dibenarkan," jelas Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Unmul Samarinda itu.
Ia menyoroti bagaimana normalisasi ranking menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang lebih luas dalam sistem pendidikan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
