Akademisi Unmul Ini Ingatkan Deforestasi Kaltim Masuki Fase Kritis
Tampak aktivitas penumpukan kayu dan pengapalan log menggunakan ponton di tepian sungai, yang berdekatan dengan ekosistem mangrove dan hutan alam di sekitarnya.-Forest Watch Indonesia-
Apabila tren degradasi lahan berlanjut, ungkap Kiswanto, wilayah ini akan memasuki kondisi permanen di mana sistem lingkungan tidak lagi mampu pulih.
"Jika ini diteruskan, kita akan menghadapi banjir besar sebagai fenomena rutin tahunan, peningkatan signifikan kejadian longsor, dan krisis air bersih dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan," imbuhnya.
Di sisi lain, kondisi ini akan menciptakan apa yang ia sebut sebagai pemiskinan ekologis
(ecological impoverishment), di mana masyarakat menanggung beban ekonomi akibat kerusakan lingkungan, seperti rusaknya aset, naiknya biaya air bersih, dampak kesehatan, dan hilangnya sumber penghidupan.
BACA JUGA:Kaltim Targetkan Ekspansi 12 Ribu Hektare Sawah Baru di 6 Kabupaten
Untuk menjawab persoalan deforestasi dan kerusakan ekologis di Kaltim, diperlukan pembenahan instrumen tata kelola lingkungan.
"Mitigasi bencana hanya dapat berhasil jika pemerintah bergeser dari respons reaktif menjadi kebijakan preventif berbasis daya dukung lingkungan," ucapnya.
Kiswanto pun memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan strategis. Di antaranya, penegakan disiplin terhadap RTRW dan KLHS, audit ketat terhadap konsesi tambang dan perkebunan di zona rawan bencana, program rehabilitasi ekosistem berbasis lanskap hulu, penerapan transfer anggaran berbasis lingkungan untuk memperkuat daerah konservasi.
Hingga penguatan perhutanan sosial sebagai pengelolaan berbasis komunitas.
Bagi Kiswanto, akademisi harus menjadi tulang punggung kebijakan berbasis riset.
Dan masyarakat menjadi aktor utama melalui pendampingan, perhutanan sosial, dan citizen science.
Ia juga menegaskan pentingnya keberpihakan negara terhadap masyarakat adat dan lokal yang selama ini menjadi pihak paling terdampak.
"Secara ekologis, masyarakat adat dan lokal yang menjaga hutan mestinya mendapat pengakuan dan dukungan paling kuat, bukan justru tersingkir oleh model pembangunan yang tidak berkelanjutan," pungkasnya.
BACA JUGA:BPBD Ungkap 3 Ancaman di Peta Bencana Kaltim, Jutaan Hektare Masuk Zona Merah
Ia mengungkapkan bahwa kerusakan ekologis di Kaltim bukan lagi isu sektoral. Melainkan ancaman keberlanjutan kehidupan.
Sebagai catatan,Kaltim menempati peringkat pertama dari 10 provinsi penyumbang deforestasi terbesar 2024.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
