SLB di Berau Tak Mampu Tampung Siswa Baru, Fasilitas Terbatas hingga Tak Bisa Rekrut Tenaga Pendidik
Sekolah Tinggi Luar Biasa (SLB) di Jalan Durian 2, Tanjung Redeb, Kabupaten Berau.-Maulidia Azwini/ Nomorsatukaltim-
BERAU, NOMORSATUKALTIM - Di tengah gencarnya wacana pendidikan inklusif dan pemerataan akses belajar, kondisi memilukan justru terjadi di pusat pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di Kabupaten Berau.
Satu-satunya Sekolah Luar Biasa (SLB) yang ada di Bumi Batiwakkal kini menghadapi krisis kapasitas yang serius. Pada tahun ajaran 2025/2026, lembaga pendidikan yang berlokasi di Jalan Durian 2, Tanjung Redeb itu, terpaksa menutup pintu bagi siswa baru.
Ketua Forum Peduli ABK Berau, Agustam atau Abi, yang juga merupakan pengajar di SLB menegaskan, bahwa penolakan siswa baru bukan disebabkan oleh seleksi yang ketat, melainkan karena lonjakan jumlah pendaftar yang tidak sebanding dengan ketersediaan fasilitas dan tenaga pendidik.
“Tahun ini ada sekitar 20 calon siswa yang kami tolak karena mendaftar di luar jadwal. Tapi yang jadi pertanyaan, kalau tidak bisa sekolah di sini, lalu mereka harus sekolah dimana?,” ucapnya dalam rapat bersama Pemkab Berau, Rabu 23 Juli 2025.
BACA JUGA: Sekolah Swasta Mengeluh, SPP Diharuskan Gratis, Tapi Operasional Pendidikan Mahal
BACA JUGA: Biaya Pendidikan SD Hingga Rp36 Juta, Begini Penjelasan Disdikbud Kubar
Menurutnya, kondisi ini mencerminkan adanya krisis kapasitas yang berdampak langsung pada hak anak-anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Abi menjelaskan, saat ini sebanyak 250 anak berkebutuhan khusus (ABK) masih aktif mengikuti pembelajaran, namun hanya ditangani oleh 14 tenaga pendidik. Ketimpangan itu tak hanya membebani sistem, tapi juga menghambat tercapainya pendidikan inklusif yang ideal.
“Guru kami sangat terbatas. Idealnya, satu guru menangani tiga hingga delapan siswa. Sekarang saja, saya sendiri harus menangani 20 anak autis dalam satu kelas. Bukan ingin mengeluh, tapi kondisinya memang sudah jauh dari ideal,” jelasnya.
Ia menambahkan, situasi menjadi semakin pelik sejak kebijakan pendidikan gratis diberlakukan. Larangan memungut iuran, termasuk sumbangan sukarela dari orang tua, membuat sekolah kehilangan peluang merekrut guru pendamping secara swadaya.
"Dulu para orang tua masih bisa iuran untuk menggaji guru pendamping, tapi semenjak program Gratispol diberlakukan, kami tidak boleh memungut biaya apapun, akhirnya kami yang menderita,” ujarnya.
Dengan kondisi tersebut, Abi menegaskan pihaknya tak lagi menerima siswa pindahan dari sekolah umum. Situasi semacam ini, kata dia, kerap muncul di awal tahun ajaran, ketika guru di sekolah reguler mulai kewalahan menghadapi anak berkebutuhan khusus.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

