Kontroversi Putusan Batas Usia Capres-Cawapres, Dosen Hukum Unmul Ini Sebut MK Sudah Terjebak Syahwat Politik

Kontroversi Putusan Batas Usia Capres-Cawapres, Dosen Hukum Unmul Ini Sebut MK Sudah Terjebak Syahwat Politik

Herdiansyah Hamzah.--

Nomorsatukaltim – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas umur calon presiden (capres) – calon wakil presiden (cawapres) menuai pro dan kontra.

Sebagaimana diketahui, sidang pembacaan putusan digelar pada Senin (16/10/2023), di Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Anwar Usman membacakan putusan.

Batas usia capres dan cawapres diatur dalam Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan uji materi diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Anwar mengatakan, permohonan uji materi yang diajukan oleh PSI tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Menurut hakim MK, Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu tidak melanggar hak atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.

Selain itu juga tidak melanggar hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

"Dengan demikian dalil para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," tutur hakim konstitusi Saldi Isra menjelaskan pertimbangan MK.

Namun putusan ini menuai kritik dari akademisi Fakultas Hukum (Fahukum) Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah. Herdi menyebut MK telah kehilangan akal sehat dengan menerbitkan putusan tersebut.  

“Syahwat politik MK lebih dominan bekerja dibanding nalar hukumnya,” sindirnya.

Di sisi lain MK juga memutuskan bahwa pengalaman sebagai kepala daerah dan pejabat negara bisa menggugurkan batas minimal usia 40 tahun pendaftar capres-cawapres.

Putusan ini merupakan respon terhadap permohonan uji materi Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017, yang mengatur batas usia capres dan cawapres yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (UNS), bernama Almas Tsaqibbirru Re A.

Berkaca pada ini, Herdi menuding putusan MK tersebut di desain untuk memuluskan langkah Gibran agar bisa mudah melenggang maju pada kontestasi pilpres mendatang.

“Tiada lain, putusan ini memang didesain sedemikian rupa untuk Gibran. Dipengaruhi posisinya sebagai anak seorang presiden, dan diputuskan oleh pamannya sendiri,” singgungnya lagi.

Dari sini pula lanjutnya, putusan MK kali ini sangt dipengaruhi kepentingan politik. Menariknya kata Herdi, dalam sidang tersebut juga terjadi dissenting opinion atau pendapat berbeda dari hakim Saldi Isra. Ia bingung putusan tersebut mendadak berubah ketika hakim Anwar masuk dalam persidangan.

Bagi Herdi, situasi itu menunjukkan kegelisahan Saldi melihat MK yang sudah kehilangan kewarasan. Saldi bahkan menyayangkan posisi MK yang dibebankan dengan pusaran politik, dengan menguji syarat usia capres-cawapres.  

“Yang secara nyata adalah open legal policy yang bukan domain MK,” tegas Herdi.

Bahkan ia juga mengutip pernyataan Sardi yang mempertanyakan keberadaan MK, yang tersandera kepentingan politik.

“MK kini berubah nama menjadi Mahkamah Keluarga,” katanya mengakhiri.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: