Bingung Mengisyaratkan Nama Kota dan Istilah Medis
Kenapa harus demikian? Karena, kata Fajar, pada dasarnya isyarat memang bahasanya mereka, kelompok tuna rungu. Automatis mereka yang lebih paham dan lebih mengerti bahasa isyarat.
Contohnya, lanjut Fajar menceritakan, kejadian ketika dirinya berperan sebagai pengumpan untuk Dinda. Ia lupa isyarat nama Kabupaten Penajam Paser Utara.
Hal itu yang membuatnya lama berusaha mengingat. Akhirnya ia harus mengeja per huruf nama kota tersebut. Tapi, belum selesai semua huruf, Dinda yang saat itu sebagai penerjemah sudah langsung paham.
"Begitu juga, ketika saya lupa isyarat nama Kota Banten, saya lupa dan ejaannya salah, tapi dia (Dinda) lansung paham dan membenarkan," tuturnya.
Fajar mengatakan, ada dua cara memberikan isyarat kepada tuna rungu. Pertama dengan ejaan dari gerakaan jari-jari tangan finger speeling. Kedua isyarat langsung "Contohnya isyarat makan, lansung dengan gerakan tangan menyuap ke arah mulut," terangnya.
Sistem bahasa isyarat di Indonesia sendiri ada dua. Satu namanya Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI), yaitu bahasa isyarat dari bahasa verbal yang diisyaratkan.
Umumnya, metode ini lebih sulit dipelajari dan dipahami oleh kalangan tuna rungu. Sistem yang kedua ialah Bisindo (bahasa isyarat Indonesia). Ini adalah bahasa isyarat yang lahir murni dari kaum tuna rungu.
Perbedaan yang paling mendasar dari keduanya ialah, SIBI dalam mengisyaratkan lebih melihat pada kata-kata. Sementara Bisindo dalam memberi isyarat lebih kepada kegiatannya.
Contohnya kata pengangguran. Dalam SIBI diisyaratkan dengan menggunakan ejaan awalan "peng" kemudian penggambaran buah anggur melalui gerakan tangan, lalu akhiran "an". (peng-buah anggur-an).
Tetapi kalau di Bisindo, kata Fajar, untuk mengisyaratkan pengangguran cukup dengan topang dagu disertai dengan wajah merengut. "Mereka sudah langsung tahu kalau itu artinya pengangguran," kata dia.
Fajar sendiri dalam bekerja sebagai juru bahasa isyarat menggunakan sistem Bisindo. Namun, bukan berarti ia tanpa kesulitan. Terutama saat bertugas sebagai penerjemah di gugus tugas COVID-19 Balikpapan. Dalam setiap agenda rilis informasi yang hampir setiap hari.
Ia mengaku kesulitan dalam menerjemahkan ke dalam bahasa isyarat ketika terkait dengan nama-nama kota di Indonesia, istilah-istilah medis dan nama obat-obatan.
"Kesulitannya, karena pandemi ini kan terjadi di seluruh Indonesia, penyebarannya pun biasanya karena orangnya yang berpindah-pindah keluar dari satu daerah dan masuk ke daerah lain. Biasanya saat rilis informasi disebutkan nama-nama kota, kota di Indonesia banyak sekali, makanya di situ kadang kita kesulitan, karena kalau hanya mengandalkan finger speeling itu kan lama. Pasti ketinggalan. Tapi kalau kita paham isyaratnya akan lebih cepat," tuturnya.
Hambatan lain, katanya, ketika narasumber atau orang yang berbicara, menggunakan istilah-istilah kedokteran. Penulisan istilah medis dan obat-obatan banyak menggunakan bahasa latin dan bahasa Inggris. "Apalagi kadang kita tidak tahu artinya kata itu," ujarnya.
Tapi, Fajar juga mengaku terkesan dengan upaya gugus tugas Balikpapan. Yang peduli kepada kalangan disabilitas, khususnya tuna rungu. Menurutnya, mereka juga berhak mendapatkan akses informasi terkait perkembangan situasi COVID-19 yang terjadi begitu cepat dan dinamis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: