Ketika Pemilih Memilih Tidak Memilih
Dosen Fisip Unmul, Rina Juwita.-(Foto/ Istimewa)-
Akibatnya, banyak pemilih yang merasa suara mereka tidak bermakna kecuali ada “amplop’ di baliknya.
Fenomena politik uang juga merusak hubungan kandidat dengan masyarakat. Ketika kandidat lebih sibuk “menyebar amplop’ daripada membangun dialog dengan masyarakat, yang terjadi adalah jurang komunikasi yang semakin lebar.
Pemilih akhirnya merasa bahwa kandidat hanya peduli pada mereka saat kampanye, lalu menghilang setelah terpilih.
BACA JUGA: Akademik Vs Kepentingan Politik: Dilema Institusi Pendidikan dalam Kasus Pejabat Publik
Dalam konteks ini, golput menjadi bentuk perlawanan simbolis terhadap praktik politik yang tidak bermoral.
Namun, politik uang bukan satu-satunya penyebab. Bagi masyarakat di Kalimantan Timur, kita tahu isu-isu besar seperti pemindahan ibu kota negara (IKN), pengelolaan tambang, hingga kesejahteraan masyarakat adat sering kali hanya menjadi narasi besar dalam kampanye.
Namun kemudian, apakah narasi ini benar-benar menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat? Atau hanya menjadi janji manis yang dibungkus retorika tanpa solusi konkret?
Ketika pemilih merasa tidak ada yang benar-benar peduli dengan kebutuhan mereka, golput menjadi pilihan yang masuk akal.
BACA JUGA: Mampukah Kandidat Menjawab Aspirasi Warga Bumi Batiwakal?
Tingginya angka golput juga menunjukkan kegagalan komunikasi politik. Para kandidat dan tim kampanye sering kali fokus pada pencitraan, bukan pada dialog. Mereka berbicara, tetapi tidak mendengar.
Akibatnya, banyak pemilih merasa bahwa suara mereka tidak penting, bahkan tidak didengar sama sekali. Padahal, dalam teori komunikasi politik, keberhasilan kampanye tidak hanya diukur dari berapa banyak baliho yang dipasang, tetapi juga dari seberapa banyak dialog yang berhasil dibangun.
Media sosial, yang seharusnya menjadi alat untuk mendekatkan kandidat dengan pemilih, sering kali justru memperparah jarak itu. Bukannya membangun komunikasi yang interaktif, media sosial lebih banyak digunakan untuk menyebarkan konten kampanye yang satu arah.
Kandidat sibuk mempromosikan diri dengan video yang dikemas apik, tapi lupa menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis dari warganet.
BACA JUGA: Bawaslu Kukar Telah Meregistrasi Dugaan Politik Uang di TPS 7 Loa Janan Ulu
Dalam kondisi seperti ini, pemilih merasa diabaikan, dan golput menjadi cara mereka menyampaikan ketidakpuasan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: