Ketika Pemilih Memilih Tidak Memilih
Dosen Fisip Unmul, Rina Juwita.-(Foto/ Istimewa)-
Di era digital, peluang untuk memperbaiki komunikasi politik sebenarnya sangat besar. Kandidat bisa memanfaatkan platform digital untuk mendengarkan aspirasi masyarakat melalui survei daring, diskusi interaktif, atau bahkan sesi tanya jawab di media sosial.
Sayangnya, banyak kandidat yang masih terjebak dalam pola kampanye lama yang hanya fokus pada promosi diri, bukan membangun dialog.
Selain itu, media lokal juga memiliki peran penting dalam mengurangi angka golput. Media bisa menjadi jembatan antara kandidat dan masyarakat, dengan menyajikan informasi yang objektif, kritis, dan relevan. Media juga bisa memfasilitasi diskusi publik yang melibatkan berbagai pihak, sehingga pemilih merasa lebih terlibat dalam proses politik.
BACA JUGA: David Rante Soroti Masalah Kelangkaan Gas dan BBM di Kutai Timur
Namun, tanggung jawab ini tidak hanya ada di pundak kandidat atau pemerintah. Masyarakat juga perlu lebih aktif dalam menyuarakan aspirasi mereka.
Jika merasa tidak puas, sampaikan. Jika merasa ada yang salah, kritisi. Golput memang bisa jadi bentuk protes, tetapi komunikasi yang aktif jauh lebih efektif dalam mendorong perubahan.
Pilkada Kaltim 2024 seharusnya menjadi momen refleksi, bukan hanya untuk para kandidat, tetapi juga untuk seluruh ekosistem politik kita. Tingginya angka golput menunjukkan ada yang salah dalam cara kita berkomunikasi, baik dari pemerintah, politisi, media, maupun masyarakat itu sendiri.
Kita harus ingat, demokrasi tidak hanya tentang memilih, tetapi juga tentang mendengar.
BACA JUGA: Pemkab Mahulu Akan Pelajari Regulasi Kebijakan Kenaikan Gaji Guru ASN dan Non ASN
Jika semua pihak bisa belajar dari fenomena golput ini, maka Pilkada selanjutnya bisa menjadi lebih inklusif, partisipatif, dan benar-benar merepresentasikan suara rakyat.
Karena pada akhirnya, memilih bukan hanya soal mencoblos, tetapi soal memastikan suara kita didengar dan dihargai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: