Perlindungan Kesehatan Reproduksi Bagi Perempuan Pekerja
dr. Lusy Erawati, SpPD-(Dok. Pribadi)-
NOMORSATUKALTIM - Kaum perempuan saat ini berperan aktif dalam kehidupan sosial maupun ekonomi. Semakin banyak perempuan yang memasuki dunia kerja, membuktikan keberadaannya sangat penting dalam dunia usaha baik di bidang industri, sosial maupun ekonomi.
Dalam menjalankan perannya di dunia kerja, perempuan tidak dapat dilepaskan dari hak-hak kodrati yang berhubungan dengan fungsi reproduksinya, yaitu masa haid, mengandung, melahirkan dan menyusui.
Perlindungan hak reproduksi perempuan di dunia kerja adalah suatu keharusan, walaupun pada kenyataannya masih banyak pelanggaran-pelanggaran dan diskriminasi terhadap hal tersebut.
Pemerintah Indonesia menjamin hak reproduksi perempuan, seperti yang diatur dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia Pasal 49 Ayat 3 berbunyi “Bahwa hak khusus yang melekat pada diri perempuan dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.”
Dalam rangka menerapkan perlindungan hukum, di Indonesia telah diatur hak-hak pekerja perempuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang No. 6 tahun 2023 (UU Tenaga Kerja).
Isu yang berkembang mengenai sulitnya memperoleh hak cuti haid dan cuti melahirkan bagi pekerja perempuan sering kali menjadi persoalan dan paling sering ditemukan. Pemberian cuti haid secara jelas telah diatur dalam UU Tenaga Kerja Pasal 81 yang berbunyi “Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”.
Pada Pasal 84 UU juga diatur bahwa setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat haid berhak mendapat upah penuh. Pengusaha yang tidak membayar upah pekerja/buruh perempuan yang sedang menjalankan istirahat haid dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu bulan dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp400 juta, seperti tercantum dalam Pasal 186 Ayat 1.
Perlindungan bagi pekerja perempuan yang sedang hamil dan akan melahirkan juga telah diatur dalam UU tersebut yaitu pada Pasal 82 Ayat 1, yang berbunyi “Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.”
Pada Pasal 82 Ayat 2 dinyatakan bahwa pekerja/buruh yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan/bidan. Bagi pengusaha yang melanggar Pasal 82 tersebut dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp 400 juta. Hal ini diatur dalam Pasal 185 ayat 1.
Selain hak cuti melahirkan perempuan pekerja juga mempunyai hak untuk menyusui anaknya. Selain hal tersebut di atas, mempekerjakan tenaga perempuan dalam suatu lingkup perusahan perlu memperhatikan norma kerja bagi perempuan, sebagai berikut :
1. Dilarang mempekerjakan pekerja perempuan mulai pukul 23.00 – 07.00 bagi pekerja perempuan yang berumur kurang dari delapan belas tahun.
2. Dilarang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 – pukul 07.00 bagi perempuan hamil yang apabila bekerja dapat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya disertai dengan surat keterangan dokter
3. Wajib memberikan makanan dan minuman bergizi serta menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00
4. Pekerja perempuan yang berangkat dan bekerja antara pukul 23.00 – pukul 05.00 wajib disediakan angkutan antar jemput oleh pengusaha tempat bekerja.
Meskipun secara fakta sudah begitu banyak ketentuan yang melindungi hak-hak reproduksi perempuan pekerja, kenyataannya banyak tenaga kerja perempuan yang diberhentikan atau terkena pemutusan hubungan kerja, karena menikah, hamil, dan menyusui.
Ini memilki tendensi di dalam industri yang mana mempekerjakan perempuan sebagai pekerjanya. Perusahaan saat ini lebih suka untuk melakukan perekrutan terhadap pekerja perempuan yang belum menikah sehingga mudah untuk mengontrol fasilitas yang diberikan.
Faktor-faktor yang menjadi penghambat pemenuhan hak-hak reproduksi perempuan pekerja dapat ditinjau dari beberapa sisi. Bila ditinjau dari sisi pengusaha yang dianggap paling kuat kedudukannya dibandingkan pekerja, cenderung melakukan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Adapun bentuk penyimpangan yang dilakukan pengusaha dikarenakan masih adanya pengusaha yang kurang menyadari manfaat dari dilaksanakannya peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi perusahaannya maupun bagi pekerja itu sendiri.
Selain itu para pengusaha belum menyadari tentang adanya sanksi pidana yang mengintai apabila mereka melanggar hak-hak perempuan pekerja.
Kendala dari pihak perempuan itu sendiri, yaitu kurang memahami akan hak dan kewajibannya. Pekerja mempuyai kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi seluruh syarat dalam peraturan kesehatan dan keselamatan kerja yang diwajibkan.
Selain itu banyak perempuan yang terdesak oleh kebutuhan ekonomi sehingga tidak memperhatikan hak-hak dan keselamatannya dalam bekerja, serta rendahnya tingkat pendidikan sehingga perempuan mempunyai posisi tawar yang rendah. Perlunya sosialisasi dan edukasi kepada perempuan pekerja mengenai hak-haknya.
Kendala yang terjadi dari aparat penegak hukum dikarenakan penegakaan peraturan dibidang ketenagakerjaan belum dapat dilaksanakan secara efektif. Implementasi penegakan hukum yang tegas dibidang ketenagakerjaaan sangat diperlukan oleh pemangku kebijakan. (*)
*dr. Lusy Erawati, SpPD
Dokter Penyakit Dalam di Balikpapan dan Mahasiswa Magister Hukum
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: