MK Melarang Anggota Polri Isi Jabatan Sipil, Praktisi Hukum: Waspadai Pola 'Poco-Poco'!
Pendiri LBH Sentra Juang Balikpapan, Mangara Tua Silaban.-(Foto/ Istimewa)-
BACA JUGA: Kirim 20 Ribu Pasukan Perdamaian ke Gaza, Menlu RI: Masih dalam Koordinasi
Mangara menilai, saat penyimpangan dianggap normal, pada saat itulah reformasi mengalami kemunduran secara perlahan namun pasti.
Ia menjelaskan bahwa fenomena "kebangkitan Orde Baru" saat ini tidak tampil dalam bentuk pelarangan demonstrasi atau militerisme yang terang-terangan.
Fenomena itu muncul lebih halus melalui normalisasi aparat aktif di posisi sipil, kebijakan yang saling tumpang-tindih, dan manipulasi cara pandang masyarakat.
"Perwira aktif yang ditempatkan di posisi sipil membawa budaya komando, loyalitas kelembagaan, dan perspektif yang berbeda," jelasnya.
BACA JUGA: JPU Tunda Dua Kali Penuntutan Dugaan Kasus Narkotika Eks Anggota Polri Balikpapan, Ini Alasannya
Saat ruang sipil didominasi logika komando, masyarakat perlahan kehilangan kesempatan menuntut transparansi dan akuntabilitas.
Mangara menganggap ini sebagai bentuk kekuasaan yang beroperasi secara senyap, tanpa keributan, namun perlahan mengikis batas-batas reformasi yang diraih dengan pengorbanan besar.
Putusan MK yang menegaskan larangan anggota Polri aktif di jabatan sipil sempat memberikan harapan kepada publik.
Sayangnya, optimisme itu cepat memudar karena sejumlah elite politik segera melontarkan pernyataan sinis, meragukan, bahkan menolak putusan tersebut.
BACA JUGA: Mensesneg Minta Wacana Pembatasan Game Online Tak Disalahartikan, Tegaskan Bukan Pelarangan Total
Ia menyebut ada yang menuduh MK "tidak paham kebutuhan negara", ada yang menyatakan penempatan aparat di jabatan sipil adalah "hal lumrah", dan berbagai pernyataan serupa lainnya.
Mangara menilai pernyataan-pernyataan tersebut bukan sekadar komentar spontan, melainkan indikasi langkah mundur yang sering muncul setelah putusan penting dikeluarkan.
"Ini merupakan tanda-tanda resistensi dan ketidaktaatan terhadap prinsip negara hukum (rule of law)," katanya.
Menurutnya, upaya melemahkan putusan MK biasanya diawali dari wacana bahwa putusan terlalu ideal, terlalu normatif, dan tidak operasional.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
