DPD RI Angkat Wacana Pilkada Lewat DPRD, Khawatirkan Pemisahan Pemilu oleh MK
Ketua Komite I DPD RI, Andi Sofyan Hasdam, menyampaikan pandangannya soal masa jabatan kepala daerah dan evaluasi sistem pilkada dalam forum diskusi media di Samarinda, Selasa (5/8/2025).-(Disway Kaltim/ Mayang)-
SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM - Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Andi Sofyan Hasdam, menyuarakan kekhawatiran atas dampak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Menurutnya, keputusan yang menyebabkan penundaan Pilkada hingga 2,5 tahun itu berpotensi menimbulkan kekosongan hukum dan pelanggaran konstitusi.
"Konstitusi kita mengamanatkan pemilu setiap lima tahun. Kalau pilkada ditunda 2,5 tahun, itu berarti masa jabatan kepala daerah menjadi 7,5 tahun. Ini bertabrakan dengan Pasal 18 UUD 1945," ujar Sofyan dalam diskusi bersama media di Kantor DPD RI Samarinda, Jalan Gajah Mada no.19, Selasa (4/8/2025).
Ia menjelaskan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya mengusulkan agar pemilu daerah dan nasional tidak digelar pada tahun yang sama, karena beban administratif dan logistik yang berat.
BACA JUGA: MK Dinilai Melanggar Konstitusi dalam Putusan Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah
BACA JUGA: Tito Masih Enggan Bocorkan Sikap Pemerintah soal Pemisahan Pemilu: Nanti Ditulis Lain
Pengalaman Pemilu 2019 menjadi pelajaran penting di mana banyak petugas pemilu meninggal akibat kelelahan.
Namun, pemisahan jadwal itu kini menghadirkan persoalan baru.
"DPD tidak dalam posisi membatalkan putusan MK karena sifatnya final dan mengikat. Tapi kami berharap DPR RI segera mencarikan solusi konstitusional atas dampak jangka panjang dari putusan ini," lanjutnya.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah menjadikan pemilu 2024 sebagai kasus khusus melalui revisi terbatas atas undang-undang pemilu yang ada.
BACA JUGA: Hamas Sambut Putusan MK soal Pemisahan Pemilu, Ingatkan Potensi Ketimpangan Politik
Pilkada Langsung atau Lewat DPRD?
Dalam kesempatan yang sama, Sofyan juga menyinggung wacana lama soal mekanisme pemilihan kepala daerah, yakni apakah tetap dipilih langsung oleh rakyat atau dikembalikan ke DPRD seperti sebelum 2005.
"Kalau mau demokratis, harus diawasi ketat. Bukan hanya pemberi uang yang dihukum, penerima juga harus ditindak. Jangan bilang 'saya cuma dikasih, saya enggak minta'. Kalau memang tidak mau, ya tolak," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
