Surat PHK PT SLS Diduga Sebagai Upaya Hilangkan Hak Pekerja, Peserta FODP Bingung Nasib Kontrak dan Ijazah
PT SLS meminta seluruh karyawan terdampak untuk membuat surat pengunduran diri secara tertulis.-(istimewa)-
BACA JUGA : Usai Pemungutan Suara, Kapolres Mahulu Sebut Fokus Pengamanan Selanjutnya Ada di Titik Ini...
“Kontrak saya masih tersisa 13 bulan. Tapi sudah tidak ada aktivitas. Kami bingung, ini PHK atau bukan. Yang paling kami takutkan, hak kami tidak dibayar dan ijazah tidak dikembalikan,” katanya.
Keraguan para pekerja semakin menguat setelah munculnya surat lain dari perusahaan yang diterbitkan lebih awal, yakni pada 11 Mei 2025.
Surat bernomor 001/HRGA-HO/SLS/V/2025 menyatakan bahwa hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan berakhir terhitung sejak 10 Mei 2025, dengan alasan ketidaksesuaian antara laporan target produksi dan kondisi nyata di lapangan selama lebih dari 12 bulan.
Disebutkan pula bahwa kondisi ini menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan.
Namun yang paling kontroversial, surat tersebut juga menyatakan bahwa perusahaan tidak berkewajiban membayar pesangon, uang penghargaan masa kerja, maupun pengganti hak lainnya.
BACA JUGA : Jalan Panjang Wajah Baru Duta Budaya Kukar 2025
Perusahaan beralasan merujuk pada Pasal 52 Ayat 1 huruf b dan Ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 serta ketentuan internal perusahaan.
Hal ini memicu dugaan bahwa PT SLS telah melakukan PHK secara sepihak sejak pertengahan Mei, kemudian mengeluarkan surat lanjutan pada 24 Mei yang meminta pengunduran diri untuk menghindari kewajiban kompensasi.
“Kalau kami sudah di-PHK sejak 10 Mei, lalu kenapa diminta mundur? Ini seperti taktik untuk lari dari tanggung jawab. Saya anggap ini bentuk pemaksaan,” ujar Rey.
Ia mengaku telah mencoba menghubungi pihak HRD baik di site maupun di kantor pusat Surabaya, namun belum mendapat penjelasan yang jelas.
BACA JUGA : Satu Wakaf Indonesia: Inovasi Wakaf Digital dari BI Kaltim untuk Kemudahan Bersedekah
“Saya coba tanya HRD site, mereka bilang belum bisa kasih jawaban pasti. Kalau terus seperti ini, kami tidak tahu harus bagaimana. Kami hanya ingin kejelasan status, hak kami, dan ijazah kami,” ucapnya.
Kasus ini pun menyita perhatian, karena mencerminkan persoalan ketenagakerjaan yang kerap terjadi di sektor pertambangan, khususnya terhadap pekerja kontrak dan tenaga kerja muda yang rentan tanpa perlindungan memadai.
Permintaan pengunduran diri secara massal disinyalir menjadi modus untuk menghindari kewajiban pembayaran pesangon dan hak-hak normatif lainnya yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
