Bankaltimtara

Jejak Politik Edi Damansyah Dibukukan, Para Akademisi Bedah Putusan MK

Jejak Politik Edi Damansyah Dibukukan, Para Akademisi Bedah Putusan MK

Suasana Seminar dan bedah buku "Jejak Edi Damansyah dalam Politik Elektoral", di Kampus Unmul, Selasa (9/9/2025).-Mayang/Disway Kaltim-

SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM - Jejak politik Edi Damansyah menjadi pembahasan sejumlah akademisi.

Jejak politik itu terangkum dalam buku berjudul, 'Jejak Edi Damansyah dalam Politik Elektoral, Dipilih Mayoritas Rakyat Kukar, Dibatalkan MK'.

Buku setebal 114 halaman ini diterbitkan oleh Genta Press pada 2025. Ditulis oleh akademisi Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah dan Orin Gusta Andhini, yang tergabunng dalam Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman.

Isinya mengupas pengalaman politik Edi Damansyah di Pilkada Kutai Kartanegara (Kukar) 2020, ketika ia memenangkan suara mayoritas rakyat namun kemenangannya dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Herdiansyah Hamzah, penulis sekaligus dosen Fakultas Hukum yang akrab disapa Castro, mengatakan buku ini lahir dari upaya memindahkan isu kontroversial Pilkada Kukar ke ruang diskursus akademik.

Menurutnya, kampus adalah tempat yang tepat untuk mengkaji fenomena demokrasi elektoral secara objektif.

"Ini jadi bahasan di kampus. Saya kira sebagai sebuah diskursus isu yang kontroversial kemarin, salah satunya soal proses masa jabatan, itu penting untuk dipindahkan ke ruang akademis," ujar Castro saat ditemui usai bedah buku, di Gedung Laboratorium Unmul, Selasa, (9/9/2025).

Castro juga menjelaskan, penerbitan buku ini turut dibantu oleh Edi Damansyah. Namun, ia menekankan bahwa dukungan tersebut sebatas pada biaya cetak, bukan intervensi isi.

"Saya kalau buat buku modalnya cuma Rp1,5 juta, dapat 10 eksemplar. Nah, kemudian Pak Edi membantu mencetak lebih banyak untuk dibagikan ke teman-teman. Jadi beliau membeli untuk mencetak, bukan memengaruhi substansi,"tegasnya.

Menurut Castro, ada beberapa persoalan mendasar yang coba dikritisi melalui buku ini. Pertama, polemik masa jabatan kepala daerah yang berhenti di tengah jalan. 

Ia mencontohkan kasus serupa yang terjadi di beberapa daerah lain seperti Empat Lawang, Bengkulu Selatan, hingga Tasikmalaya, yang juga berujung diskualifikasi karena aturan tidak jelas.

"Kalau sejak awal Undang-Undang Pilkada dan Pemda mengatur soal masa jabatan ini dengan jelas, polemik di Kukar tak akan muncul. MK akhirnya menafsirkan ruang kosong itu, padahal mestinya pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang yang punya kewenangan membuat aturan," jelas Castro.

Selain itu, buku ini juga menyinggung soal politik dinasti. Castro menyebut, dalam wawancara dengan Edi Damansyah, muncul penjelasan bahwa ia tak melibatkan istrinya dalam kontestasi politik karena ingin menghindari kesan dinasti.

"Politik dinasti itu harus dikritisi, karena check and balances tidak mungkin berjalan kalau semua dikuasai keluarga sendiri. Dalam banyak riset, termasuk tesis Asyikurrahman di London School of Economics, politik dinasti erat kaitannya dengan korupsi," kata Castro.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: