Fakta Praktik Berladang Adat: Stigma Pembakar Hutan Dinilai Tak Berdasar, Ada Tekanan Sistem Ekonomi-Politik
Perempuan Adat Balik di Kelurahan Pemaluan, Sepaku, saat sedang memanen padi di ladang (Ngatom Pare).-istimewa-
BACA JUGA: Proyek Rp 2,7 Miliar DLH Kutai Barat Terbengkalai, Bangunan Mangkrak, Pekerja Tidak Ada
Data pemantauan Forest Watch Indonesia pada 2023 menunjukkan, sekitar 65 persen titik panas (hotspot) di Kalimantan Timur dalam tiga tahun terakhir terdeteksi di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit skala besar atau area bekas pembalakan hutan.
Sementara itu, hotspot yang berkaitan dengan ladang tradisional masyarakat adat tercatat kurang dari 5 persen.
Adapun regulasi yang melarang pembakaran lahan diterbitkan secara bertahap mulai dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan menjadi landasan larangan pembakaran.
Situasi pun memuncak pada 2015 ketika kebakaran meluas di Sumatera dan Kalimantan, hingga Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Karhutla.
BACA JUGA: Pusdal Lingkungan Dibangun di Balikpapan, Pemantauan Ekosistem Kalimantan Bakal Lebih Ketat
"Sejak Inpres itu, kriminalisasi terhadap peladang makin sering. Padahal Pasal 69 UU PPLH jelas berbunyi bahwa masyarakat adat boleh membakar lahan maksimal dua hektare dengan membuat sekat api," terang pria lulusan Pembangunan Sosial di Universitas Mulawarman itu.
Andreas memaparkan sejumlah kasus kriminalisasi yang terjadi di Kalimantan Timur. "Pada 2016, sebanyak dua petani ladang Kenyah Lepoq Jalan di Desa Lung Anai dipenjara satu tahun karena membuka ladang sendiri. Kemudian di 2019, dua petani di Paser juga diproses hukum meski sudah lapor ke RT," sebutnya.
Ia menuturkan, bahwa pembakaran ladang dilakukan dengan metode yang sudah diatur secara ketat dalam hukum adat. Proses pembukaan lahannya pun selalu diawali musyawarah untuk menentukan waktu bakar.
"Saat pembakaran, masyarakat membuat sekat api selebar 1-2 meter supaya api tidak merembet ke lahan lain. Arah angin diperhitungkan dengan teliti, dan pembakaran dilakukan secara gotong royong. Kalau ada kebakaran yang tak terkendali, itu biasanya bukan karena petani ladang," tegasnya.
BACA JUGA: Pesut Mahakam Hanya Tersisa 62 Ekor, Ini Langkah Pemkab Kukar dan Kementerian LHK
Praktik perladangan sudah ada ratusan tahun. Ia menduga, mengenai kebakaran masif seringkali berasal dari korporasi besar yang membakar ribuan hektare untuk membuka perkebunan sawit.
"Ya karena itu biayanya jauh lebih murah. Sementara peladang juga menyadari risiko kebakaran bagi kehidupan mereka sendiri. Peladang itu tidak akan pernah mati terbakar oleh apinya sendiri. Kalau mereka ceroboh, mereka sendiri yang rugi," tandasnya.
Ia menekankan agar pemerintah perlu memperbaiki persfektif terhadap masyarakat adat. Apabila kebijakan hanya melihat ekonomi skala besar, Andrean menyakini bahwa peladang akan terus menjadi korban tuduhan yang tidak adil.
Di tengah berbagai aturan yang membatasi pembakaran, lanjutnya, populasi petani ladang terus menyusut. Banyak ladang tradisional digusur industri ekstraktif.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

