Bashar al-Assad: Dari Dokter Mata, Menjadi Penguasa di Suriah, Akhirnya Runtuh di Tangan Pemberontak

Warga Qamishli di Suriah menggunakan telepon genggam mereka untuk mengabadikan gambar Presiden Suriah Bashar al-Assad yang rusak ketika orang-orang merayakan penggulingan sang presiden.-Orhan Qereman/Reuters-
Al-Assad menampik pemberontakan tersebut sebagai konspirasi asing dan melabeli para penentangnya sebagai teroris.
Sebagai pemimpin yang sah di negara itu dan diusung oleh Partai Baath, ia juga merupakan panglima tertinggi angkatan bersenjata. Justru al-Assad memilih tindakan yang brutal. Hal ini meningkatkan gelombang protes menjadi cepat meningkat.
Pada tahun 2012, pemerintah menggunakan senjata berat untuk melawan kelompok-kelompok pemberontak, termasuk serangan udara. Kerusuhan menyebar, memicu pemberontakan bersenjata yang menarik kekuatan regional dan internasional.
Berpegang teguh pada kekuasaan
Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah al-Assad mempertahankan kekuasaannya dengan dukungan politik dan militer dari Rusia dan Iran, serta kelompok Hizbullah Lebanon yang didukung oleh Teheran.
Al-Assad secara bertahap berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah yang awalnya direbut oleh pasukannya. Namun, ia memerintah sebuah negara yang terpecah belah, dengan hanya memiliki kontrol terbatas dan basis dukungan yang sempit. Terutama dari minoritas bani Alawi yang merupakan bagian dari keluarganya.
Gencatan senjata diumumkan pada Maret 2020 menyusul kesepakatan antara Rusia dan negara tetangganya, Turki, yang secara historis mendukung beberapa kelompok oposisi di Suriah.
Namun, Suriah terus mengalami pengeboman dan pertempuran yang sering terjadi. Sementara al-Assad justru mengabaikan proses politik yang dipimpin oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mewujudkan transisi demokratis.
Selama bertahun-tahun, al-Assad menampilkan dirinya sebagai pelindung kelompo minoritas Suriah. Ia juga memposisikan dirinya sebagai benteng melawan gerakan ekstremisme, dan satu-satunya kekuatan yang mampu memulihkan stabilitas di negara Suriah.
Dalam beberapa pemilu yang diadakan selama bertahun-tahun, termasuk selama perang di wilayah yang dikuasai pemerintah, hasil resmi menunjukkan al-Assad memenangkan mayoritas suara. Pada Mei 2021, ia terpilih kembali untuk masa jabatan keempat dengan 95,1 persen suara yang masuk.
BACA JUGA:KBRI Seoul Minta WNI Jauhi Kerumunan, Merespons Ketegangan Politik Korsel
Namun, pemerintahannya tidak dapat memperoleh kembali legitimasi di mata sebagian besar masyarakat internasional, dengan sejumlah negara dan kelompok hak asasi manusia menuduh bahwa pemungutan suara itu tidak bebas dan tidak adil.
Sementara itu, pemerintahannya menghadapi tuduhan membunuh dan memenjarakan ribuan orang, serta membuat kelaparan seluruh masyarakat di daerah-daerah yang dikepung pemberontak selama perang. Ia juga dituduh dalam berbagai kesempatan menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri, tuduhan yang dibantah oleh al-Assad.
Pada tahun 2023, Organisasi Pelarangan Senjata Kimia menyimpulkan bahwa ada “alasan yang masuk akal untuk percaya” bahwa pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia dalam serangan pada tanggal 7 April 2018 di Douma, dekat Damaskus.
Pada November 2023, Prancis mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional untuk al Assad, menuduhnya terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan terkait serangan kimia yang dituduhkan kepada pemerintahnya pada 2013.
Keesokan harinya, Mahkamah Internasional, pengadilan tertinggi PBB, memerintahkan pemerintah Suriah untuk menghentikan penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: