Co-Firing di PLTU Teluk Balikpapan, Transisi Energi atau Ancaman Ekologi?
PLTU Teluk Balikpapan telah menerapkan kebijakan Co-Firing sejak akhir tahun 2022.-(Disway Kaltim/ Salsa)-
Meskipun PLTU Teluk Balikpapan telah memulai langkah awal dalam pemanfaatan biomassa, realisasi transisi energi ini masih jauh dari target.
Alif menekankan bahwa Koordinasi yang lebih baik antara PLN, pemerintah daerah, dan pemasok lokal, serta dukungan kebijakan yang menyeluruh, sangat dibutuhkan agar program Co-Firing ini dapat berjalan optimal dan berkelanjutan.
Saat ini dengan seluruh tantangan yang masih banyak menghadang, semua pihak harus dapat bekerja sama untuk menciptakan solusi yang tidak hanya menguntungkan dari segi ekonomi tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan, demi masa depan yang lebih baik bagi masyarakat dan alam di sekitar PLTU Teluk Balikpapan.
Peta situasi spasial di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur.-(Foto/ Istimewa)-
Kerja Sama DLH dan PLN Temui Titik Buntu
Pada tahun 2022, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Balikpapan bekerja sama dengan PLN untuk mengolah sampah organik, terutama potongan kayu dari hasil pemangkasan dan dahan pohon, menjadi bahan bakar jumputan padat.
Bahan bakar ini kemudian digunakan sebagai campuran batubara untuk mendukung program energi baru terbarukan di PLTU Teluk Balikpapan.
Tujuan utama dari kerja sama ini adalah untuk mengurangi volume sampah kota secara signifikan, sekaligus mendukung transisi energi bersih yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Namun, pelaksanaan kerja sama ini menemui berbagai kendala di lapangan, terutama terkait aspek finansial.
Menurut Sudirman dari DLH Kota Balikpapan, meskipun pengolahan sampah organik menjadi bahan bakar alternatif ini memberikan nilai tambah, harga beli yang ditetapkan PLN untuk bahan bakar jumputan padat sangat rendah, yaitu hanya sekitar 500 rupiah per kilogram.
“Harga yang mereka beli memang tidak sebanding dengan biaya operasional yang harus kami keluarkan. Biaya tenaga kerja, listrik untuk mesin, dan bahan bakar itu semua membutuhkan anggaran yang cukup besar,” jelasnya.
Sudirman menambahkan bahwa dengan harga beli saat ini, pemerintah kota harus menanggung selisih yang cukup besar, yaitu sekitar 10 juta rupiah per bulan, atau mencapai 120 juta rupiah per tahun.
“Kalau kita lihat, biayanya lebih tinggi daripada pendapatan dari hasil penjualan bahan bakar ke PLN. Jadi bisa dibilang kami nombok," ujarnya.
Kondisi ini menjadikan pemerintah kota menghadapi beban finansial tambahan dalam menjalankan program pengolahan sampah ini.
Melihat situasi tersebut, pada awal tahun 2024, pemerintah melibatkan pihak ketiga dalam proses pengolahan sampah.
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) atau pihak ketiga ini membantu pengelolaan sampah organik dengan menggunakan alat dan tenaga mereka sendiri, sehingga mengurangi beban biaya operasional yang sebelumnya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: