Konflik karena Motivasi Penguasaan Sumber Daya Alam, Studi kasus: Perebutan Energi Minyak Bumi di Timur Tengah

Konflik karena Motivasi Penguasaan Sumber Daya Alam, Studi kasus: Perebutan Energi Minyak Bumi di Timur Tengah

M Dudi Hari Saputra-istimewa-

SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM - Allamah Taqi Ja'fari menjelaskan bahwa manusia baru dikatakan sempurna ketika memiliki empat relasi yang sempurna.

Yaitu antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia yang lain dan manusia dengan alam. Pendekatan integralistik adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia yang tak bisa dielakkan, dimana kita hidup dalam sebuah relasi yang saling mempengaruhi satu sama lain, seperti ucapan Thich Nhat Hanh dengan engaged Budhism-nya bahwa, kehidupan ini saling terkait satu sama lain, kerusakan pada alam tak bisa dipisahkan dari peran pola kehidupan manusia.
 
Sebagaimana prediksi dari Andrea Levy and Jean-Guy Vaillancourt bahwa bentuk kekerasan kedepannya lebih mengarah kepada isu lingkungan. Dalam mengatasi ini salah satu solusi yang ditawarkan oleh Mc Gregor adalah Eco-Peace: yang dipahami sebagai bentuk damai kepada alam (bumi) dimana manusia menjaga keberlangsungan hidup Bumi dan Alam berarti telah menjaga kehidupan manusia dan seluruh mahluk hidup di dalamnya.

Ketika para astronot AS berada di bulan, Neil Amstrong berkata bahwa bumi adalah planet terindah dengan warna birunya yang menawan, dan kehidupan manusia seolah-olah dalam kondisi tak memiliki sekat dan batas antar Negara, semuanya berada dalam satu kesatuan yaitu sebagai mahluk yang tinggal di bumi.

Mansbach mengistilahkan ini dengan Collective Fate yaitu sebuah takdir manusia untuk hidup di satu-satunya planet yang bisa dihuni yaitu bumi. Dan semua mahluk hidup harus hidup bersama dan menjaganya agar satu-satunya tempat tinggal yang ada ini tidak rusak. Sebab akan berdampak buruk bagi seluruh mahluk hidup yang tinggal dibumi tanpa terkecuali.
 
Melihat kondisi ini maka lahirlah kemudian konsep Collective Goods yaitu sebuah harta kekayaan yaitu bumi dan ekosistemnya seperti udara (oksigen) yang berguna bagi kehidupan mahluk hidup di bumi terutama sekali adalah manusia. Namun sayangnya karena bentuk harta kekayaan ini seolah-olah tidak ada yang memilikinya (padahal kenyataannya ini adalah milik bersama) maka yang terjadi adalah keadaan manusia yang cenderung untuk tidak menjaga dan merawat lingkungan dengan baik.

Thomas Robert Malthus, seorang ekonom kenamaan Inggris menjelaskan bahwa angka pertumbuhan manusia yang mengikuti deret geometric sedangkan pertumbuhan angka SDA untuk pemenuhan kehidupan manusia yang mengikuti deret aritmatika menyebabkan timpangnya jumlah manusia dengan SDA pemenuh kehidupannya sehingga bisa berakibat pada bencana kelaparan karena tidak mampunya pertanian menopang kehidupan manusia, dan untuk menjawab tantangan ini maka kelompok Liberalisme melakukan industrialisasi besar-besaran dan perdagangan yang semakin gencar dan terbuka sehingga mampu memenuhi kebutuhan manusia.

Pada abad 21, dimana industrialisasi semakin gencar dan liberalisasi perdagangan semakin meluas untuk menopang kebutuhan konsumsi manusia serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dan salah satu dampak utama dari pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi adalah kebutuhan yang besar akan energi terutama sekali minyak bumi (oil), dalam perkembangan selanjutnya energi minyak selain menjadi komoditas ekonomi tapi juga menjadi sebuah asset kekuatan nasional.

Hart & Spero menjelaskan bahwa komoditas minyak akhirnya menjadi asset kekuatan nasional karena kekuatan komoditas ini dalam mempengaruhi berjalan dan tumbuhnya perekonomian. Bahkan kebergantungan yang sangat tinggi terhadap sumber energi minyak membuat negara-negara yang menguasainya memiliki potensi besar untuk menjadikannya sebagai alat politik, dan ini terbukti dari embargo minyak yang dilakukan oleh Negara-negara OPEC khususnya dari Negara-negara Arab kepada Negara-negara yang mendukung langkah agresi Israel dalam konflik Arab-Israel di Timur Tengah telah berhasil meruntuhkan perekonomian negara-negara Barat sehingga membuat AS langsung memfasilitasi penghentian agreasi Israel dan memulai untuk proses perdamaian Arab-Israel di timur tengah.

Kekuatan minyak ini seiring dengan pendapat seorang ahli ekonomi politik internasional Susan Strange bahwa ambisi kekuatan yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sebuah negara akan dilakukan, dimana tujuan-tujuan itu antara lain:

1. mengontrol Negara dari berbagai tindak kekerasan (Militer),

2. Mengontrol produksi ekonomi,

3. Mengontrol system financial dan kredit,

4. Mengontrol dan memiliki pengaruh yang besar pada ilmu pengetahuan dan Komunikasi (Susan Strange, 1987) dan pemikiran ini mirip dengan seorang neo-Marxist  yaitu Immanuel Wallerstein, bahwa seorang pemimpin harus bisa memaksakan kepentingannya di bidang ekonomi, politik, militer, diplomasi dan bahkan budaya maupun pendidikan (William Wallerstein, 1984).

Dan dari sinilah banyak kekuatan hegemoni dunia  mulai menyadari pentingnya penguasaan terhadap sumber energi ekonomi terutama minyak dalam menopang berjalannya industri sebagai strategi pembangunan ekonomi dan kekuatan nasionalnya, dalam penjelasan berikutnya penulis akan memaparkan seberapa jauh konflik di Timur Tengah yang disebabkan oleh perebutan kepemilikan atas minyak, yang membuat kita bertanya-tanya: apakah kekayaan sumber daya alam minyak ini adalah kutukan atau keberuntungan?
 
Energi: Sebuah Permasalahan Dunia
Richard Mansbach di dalam bukunya "Introduction to Global Politics" memaparkan bahwa salah satu permasalahan dunia saat ini adalah energi. Pengamat perdamaian UGM Rani Kumoro menjelaskan bahwa kekerasan dan konflik yang timbul dari perebutan sumber daya alam diawali dari perdebatan apakah sumber daya alam itu langka atau melimpah.

Dan kemudian menimbulkan pertanyaan, siapakah yang berhak menguasai rahmat Tuhan ini. Dalam studi modernisme/positivisme melahirkan 3 paradigma orthodox terkait menjawab permasalahan ini, yaitu Realisme, Liberalisme dan Strukturalisme.

Pandangan realis selalu beranggapan bahwa konflik minyak yang terjadi sekarang dikarenakan ambisi hegemoni Negara. Namun dari sudut pandang Liberalis konflik terjadi karena permintaan dan kebutuhan pasar dalam pemenuhan pembangunan ekonomi (yang mengarah kepada keserakahan) yang kemudian tidak peduli terhadap aspek lingkungan dan kemanusiaan. Sedangkan Strukturalis melihatnya sebagai konflik dominasi antara penguasa dan yang dikuasai, baik itu berupa pertentangan kelas (kapitalis versus buruh) atau pertentangan Negara-negara dunia (utara versus selatan).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: