MK Tolak Lima Gugatan UU Ciptaker, Begini Tanggapan Pusdiksi Fahukum Unmul

--
Samarinda, nomorsatukaltim – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan lima putusan perkara terkait Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Hal ini pun direspons Pusat Studi Konstitusi (Pusdiksi) Fakultas Hukum (Fahukum) Unmul.
Sebagaimana diketahui, MK menolak lima putusan uji formail Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Kelima putusan tersebut yakni: Putusan Nomor 54/PUU-XII/2023; Putusan Nomor 40/PUU-XXI/2023; Nomor 41/PUU- XXI/2023; Putusan Nomor 46/PUU-XXI/2023; dan Putusan Nomor 50/PUU-XXI/2023.
Direktur Pusdiksi Fahukum Unmul Harry Setya Nugraha menjabarkan sejumlah kejanggalan dalam putusan MK tersebut. Menurutnya, meski UU tersebut lahir dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), prosesnya tetap harus mengikuti ketentuan sesuai aturan perundan-undangan. Selain itu, produk undang-undang biasa dengan perppu tercipta karena alasan dan kondisi yang berbeda, tergantung situasi.
Proses tersebut tetap tidak bisa mengesampingkan partisipasi bermakna (meaningful participation), khususnya dalam Putusan Nomor 54/PUU-XII/2023. Ia menyebut MK tidak mengindahkan partsipasi bermakna tersebut dalam menetapkan putusan.
“Ketiadaan meaningful participation pada akhirnya akan membuat undang-undang menjadi produk hukum yang tidak responsif,” tegasnya.
Pusdiksi juga menilai MK tidak konsisten menyikapi sifat mendesak dan sementara, yang merupakan karakter dari Perppu. Misal dalam Putusan Nomor 43/PUU-XVIII/2020, MK menyebut Perpanjangan waktu oleh DPR berikan persetujuan, dinilai menghilangkan esensi Perppu.
Bertolakbelakang dengan Putusan Mahkamah Nomor 54/PUU-XXI/2023, dimana MK justru memberikan toleransi waktu yang terbilang panjang kepada DPR dalam memberikan persetujuan terhadap Perppu.
Selain itu pertimbangan MK dalam dalam Putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang menyebut sudah sesuai dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 adalah keliru.
“Untuk melakukan perbaikan UU 11 Tahun 2020 hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang dalam hal ini adalah DPR bersama Presiden, melalui perubahan undang-undang dalam arti undang-undang biasa, bukan undang-undang sebagai produk penetapan perppu,” imbuhnya.
Lagi pula di dalam fakta persidangan juga sudah terungkap bahwa pembentuk undang-undang sesungguhnya telah merencanakan membentuk UU Ciptaker yang masuk dalam daftar Prolegnas 2020-2024. Bahkan Presiden telah menyiapkan RUU Cipta Kerja serta melakukan kegiatan konsultasi publik dalam rangka upaya melaksanakan partisipasi yang bermakna.
Berkaca pada itu, Pusdiksi menilai MK telah kehilangan landasan konstitusi terkait persetujuan Perppu tersebut.
“Hal ini menjadi penting dikarenakan adanya sifat kegentingan yang memaksa dari Perppu itu sendiri. Dengan kata lain, pembahasan persetujuan terhadap perppu tidak dapat ditunda dan dilakukan pada masa-masa sidang setelah sidang pertama berikutnya,” tutup Harry.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima permohonan uji formil UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang diajukan lima pemohon dari berbagai kelompok serikat pekerja. (boy)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: