Impor Kedelai Tinggi, Teknologi Nuklir Bisa Jadi Solusi
BATAN berinisiatif untuk menghasilkan kedelai yang memiliki biji yang relatif besar dengan memanfaatkan teknologi nuklir.
JAKARTA, nomorsatukaltim.com – Pasokan kedelai impor yang minim di Indonesia membuat harga tahu dan tempe pada awal tahun ini meningkat cukup tinggi. Para perajin tahu dan tempe, hingga pembeli pun mengeluhkan masalah tersebut. Sejatinya, pasokan kedelai dalam negeri sangat melimpah. Kementerian Pertanian pun mengungkapkan, stok kedelai masih cukup untuk memenuhi kebutuhan selama dua hingga tiga bulan ke depan. Problemnya, para perajin tahu lebih memilih kedelai impor dari Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Pasalnya, biji kedelai dari dua negara tersebut relatif lebih besar dibandingkan biji kedelai yang dihasilkan para petani di Tanah Air. Pada bulan-bulan sebelumnya, distribusi kedelai impor ke Indonesia masih lancar. Namun memasuki tahun 2021, Tiongkok “memborong” kedelai di AS. Sehingga pasokan yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Para pelaku impor pun menaikkan harga kedelai. Hal ini diikuti oleh para perajin tahu dan tempe. Dalihnya, jika bahan makan khas Indonesia tersebut tidak dinaikkan di tingkat perajin, maka mereka akan mengalami kerugian. Bila ditarik benang merah dari problem tersebut, masalahnya bukan karena tidak ada stok kedelai di Indonesia. Tetapi biji kedelai di Tanah Air tidak sebesar yang dihasilkan para petani di AS dan Kanada. Lalu, bagaimana solusinya? Deputi Kepala Bidang Pendayagunaan Teknologi Nuklir Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Totti Tjiptosumirat mengatakan, pihaknya telah berinisiatif untuk menghasilkan kedelai yang memiliki biji yang relatif besar dengan memanfaatkan teknologi nuklir. Kata dia, sejatinya BATAN sudah melakukan perbaikan varietas tanaman pangan sejak 1972. Penggunaan teknologi nuklir dapat meningkatkan keragaman varietas yang unggul. “Sehingga dari situ dapat dilakukan seleksi, mana saja tanaman pangan baru yang unggul dari hasil radiasi ini,” ungkap Totti baru-baru ini. Khusus kedelai, lanjut dia, BATAN memiliki 14 varietas. Di antaranya muria, tengger, meratus, rajabasa, mitani, mutiara 1, mutiara 2 (hitam), mutiara 3 (hitam), gamasugen 1, gamasugen 2, kemuning 1, kemuning 2, sugentan 1, dan sugentan 2. Umumnya, jenis-jenis kedelai tersebut mempunyai umur yang pendek. Normalnya, kedelai dipanen setelah berumur 80 hari hingga 90 hari. Namun dengan teknologi nuklir, umur kedelai yang dikembangkan BATAN hanya 67 hari. Produktivitasnya pun tinggi, adaptif, rasa yang tak berubah, dan tahan terhadap serangan hama. Masalah yang dihadapi di Indonesia dalam pembudidayaan varietal kedelai tersebut ketersediaan lahan. Sehingga Kementerian Pertanian menyediakan lahan 1,2 juta hektare. “Kami dari BATAN bertugas menyediakan bibitnya,” jelas dia. Ia mencontohkan varietas mutiara 1. Kedelai jenis ini dapat menghasilkan 4,1 ton per hektare. Varietas ini sangat disukai oleh para perajin tahu dan tempe di Tanah Air. Karena bijinya mendekati biji kedelai impor. Khususnya kedelai impor dengan kualitas tinggi (high quality). Masalah lain pun muncul. Tak semua petani di Indonesia mau menanam kedelai. Alasannya, harganya yang fluktuatif dan murah jika dibandingkan dengan tanaman lain seperti padi. Padahal kebutuhan dalam negeri terus meningkat setiap tahun. Sementara pasokan yang tersedia tak cukup. Karena itu, untuk memenuhi permintaan kedelai, pemerintah pun mengimpornya. Untuk menyelesaikan masalah ini, BATAN menawarkan varietas baru. Khususnya kedelai jenis sugentan 1 dan sugentan 2, lebih unggul dan cocok untuk ditanam di Pulau Jawa. Hanya saja, jika varietas ini ditanam, maka pemerintah mesti mengantisipasi kemungkinan munculnya masalah ketersediaan pasar. Totti menjelaskan, berdasarkan temuannya, banyak petani yang kebingungan menyalurkan kedelainya. “Akhirnya petaninya bingung sendiri. Ini merupakan tantangan ke depan,” katanya. Dia mengingatkan pemerintah agar bisa membeli kedelai dari para petani. Langkah pertama bisa dilakukan dengan membuat gudang kedelai yang dapat menampung seluruh kedelai yang dihasilkan para petani di Tanah Air. Hal ini pernah disampaikan secara langsung oleh Totti kepada perwakilan Kementerian Pertanian. Dalam sebuah diskusi yang diprakarsai salah satu universitas swasta di Indonesia. “Namun belum ada kabarnya dari kementerian,” sebut Totti. (qn/yos)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: