Ketua DPRD Kutim Desak Kepastian Dana Transfer, Ingatkan Bahaya Kontrak Tanpa Anggaran
Ketua DPRD Kutim, Jimmi-Sakiya Yusri/Nomorsatukaltim-
KUTIM, NOMORSATUKALTIM - Persoalan dana transfer dari pemerintah pusat hingga kini belum menemui kejelasan. Ketidakpastian nilai transfer ini dapat menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan pembangunan dan stabilitas fiskal daerah.
Ketua DPRD Kutai Timur (Kutim) Jimmi, menurutnya, besaran dana transfer yang seharusnya masuk ke Kutim masih dalam tahap negosiasi.
Ia menyebutkan, penurunannya cukup signifikan sehingga membuat posisi keuangan daerah berada pada titik rawan.
“Transfer kita itu masih tahap negosiasi. Kita ingin pendapatan itu ditambah karena jauh betul turunnya. Kalau ini tidak segera dipastikan, tentu akan berpengaruh pada seluruh rencana kerja pemerintah daerah,” ujarnya.
BACA JUGA: Akses CCTV Ruang Publik Kini Bisa Dipantau Masyarakat Kutai Timur
Ia mengingatkan, Kutim masih sangat bergantung pada penerimaan dari sektor sumber daya alam (SDA), yang harganya fluktuatif di pasar global.
Kondisi tersebut membuat Kutim tidak memiliki ruang fiskal yang kuat apabila dana transfer dari pusat ikut mengalami penurunan.
“Daerah seperti kita memang masih bertumpu pada SDA. Harga batu bara, sawit, dan komoditas lain naik turun di pasar global. Kalau dana transfer juga turun, tentu keuangan daerah semakin berat,” paparnya.
Jimmi mengungkapkan, ada potensi “kurang salur” dana dari pusat yang nilainya mencapai Rp2,2 triliun. Namun, sejauh ini belum ada sinyal pasti apakah dana tersebut bisa kembali diproses.
BACA JUGA: Sidang Paripurna Batal Digelar, DPRD Kutim Layangkan Petisi Penolakan Mutasi Sekwan
“Kemarin ada angka Rp2,2 triliun, itu yang kurang salur. Tapi pemerintah pusat belum ada kepastian apakah bisa diproses lagi atau tidak. Semua masih sebatas asumsi,” jelas politisi PKS tersebut.
Ia mencontohkan kejadian tahun lalu. Saat itu, sejumlah kontrak proyek sudah diteken, program sudah berjalan, bahkan pihak ketiga sudah melaksanakan pekerjaan. Namun, pencairan dana dari pusat tak kunjung turun sehingga pemerintah daerah terpaksa menanggung beban utang.
“Contohnya seperti kemarin, kontrak sudah jalan, pekerjaan sudah dilakukan, tapi dananya tidak cair. Itu akhirnya menjadi hutang, karena pemerintah tidak mampu bayar. Selama belum masuk ke kas daerah, anggaran itu masih asumsi belaka,” tegasnya.
Atas dasar pengalaman tersebut, Jimmi menekankan agar pemerintah daerah lebih berhati-hati.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
