Bankaltimtara

Kelompok Tani di Kutai Timur Minta Kepastian Ganti Rugi Lahan, Nilai Terjadi Ketidakadilan Sejak 2010

Kelompok Tani di Kutai Timur Minta Kepastian Ganti Rugi Lahan, Nilai Terjadi Ketidakadilan Sejak 2010

Rapat dengar pendapat di ruang hearing DPRD Kutai Timur, kelompok tani dan pihak pemerintahan.-Sakiya Yusri/Nomorsatukaltim-

KUTIM, NOMORSATUKALTIM – Persoalan lahan yang terdampak pembangunan kanal dan jalan di Kecamatan Sangatta Utara, Kutai Timur, kembali mencuat.

Kelompok Tani Maminasae bersama Karya Tani dan Karya Insani menuntut kejelasan serta kepastian hak atas lahan yang telah mereka garap puluhan tahun.

Meski sebagian area sekitar lokasi telah dibayarkan pemerintah sebelumnya, segmen tertentu masih tertunda, menimbulkan ketidakadilan dan keresahan sosial di kalangan petani.

Ketua DPRD Kutai Timur, Jimmi menekankan bahwa dokumen terkait lahan tersebut telah memiliki dasar legal yang sah.

BACA JUGA: Antisipasi Krisis Pangan, Pemkab Kutim Cetak Sawah 1.900 Hektare untuk Petani Muda

“Jadi ini ya surat yang kita lihat ini, itu sudah legitimasi tuh. Sudah legal nih. Enggak perlu lagi bawa-bawa forum ini untuk melegalkan dobel lagi legalnya ini,” jelasnya, Kamis 18 Desember 2025.

Dia menambahkan bahwa DPRD tidak berada dalam ranah untuk memvalidasi dokumen yang sudah sah. “Ini sudah cukup sebenarnya. Tinggal bagaimana inisiatif pemerintah itu melihat bahwa ini atas nama kelompok yang perlu diatasi,” ungkapnya.

Jimmi menekankan perlunya sinergi antara kelompok tani dan pemerintah agar pembayaran dapat dilakukan sesuai regulasi yang berlaku.

“Kita tidak menambah fakta-fakta lain, yang ada sudah cukup kuat untuk didorong kepada pemerintah,” ucapnya.

BACA JUGA: Bappeda Kutim Fokuskan Perencanaan Pembangunan pada Lingkungan dan Transisi Ekonomi

‎Kuasa hukum kelompok tani, Sugianto Mustamar menyampaikan, bahwa secara faktual, lahan yang dipersoalkan merupakan milik dan garapan kelompok tani sejak puluhan tahun lalu.

‎“Kalau bicara tanah, ada 3 unsur, ada suratnya, ada tanahnya, dan ada saksi batasnya. Secara de facto, tanah ini milik Kelompok Tani Maminasae,” jelasnya.

‎Ia menegaskan, keberadaan fisik lahan dan penguasaan oleh kelompok tani tidak pernah diperdebatkan. Persoalan utama, kata dia, terletak pada aspek administratif yang dinilai tidak sempurna sejak awal.

‎“Memang kami akui sejak awal ada cacat formil dalam dokumen. Tapi itu bukan berarti tanah ini fiktif. Tanahnya ada, dikuasai, digarap, dan diketahui bersama,” katanya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait