Akademisi Desak PT KHN Berikan Solusi Jangka Panjang untuk Warga Punan
Syaifullah Fadil.-salsabila/disway-
SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM – Akademisi Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda Syaifullah Fadil menyebut, upaya PT KHN melindungi keanekaragaman hayati patut dipertanyakan. Lantaran studi lingkungan yang dilakukan baru dilaksanakan setelah kegiatan perusakan berlangsung.
“Studi keanekaragaman hayati yang baru dilakukan belakangan, setelah proses land clearing dan pembongkaran lokasi relokasi warga Dayak Punan, seolah-olah komitmen perusahaan hanya formalitas semata,” kata Syaifullah Fadil, pada Sabtu (22/2/2024).
Diketahui, aktivitas Proyek Strategis Nasional (PSN) itu akan mengajukan “Permohonan Dukungan Pelaksanaan Kegiatan Studi Keanekaragaman Hayati di Wilayah Upstream”, untuk kepentingan Proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Proyek ini ditujukan kepada warga terdampak di Mentarang Hulu, Malinau, Kaltara.
BACA JUGA:PLTA Kayan Stagnan
Proyek PLTA yang dikelola PT KHN, disebut akan menghasilkan listrik sebesar 1.375 MW. Digunakan untuk meningkatkan keamanan pasokan listrik ke Ibu Kota Negara (IKN) Baru di Kalimantan Timur.
Peletakan batu pertama PLTA Mentarang Induk PT KHN dilakukan pada 1 Maret 2023 lalu, adapun 28 Kartu Keluarga (KK) di Desa Seboyo atau sebutan permukiman warga di RT 5 Desa Harapan Maju telah direlokasi ke permukiman baru.
Solusi perelokasian itu tidak berjalan mulus, kehidupan warga Dayak Punan yang direlokasi dari kampung asalnya oleh PT KHN saat ini kondisinya cukup memprihatinkan.
"Bantuan berupa subsidi listrik, air, dan pangan dari PT KHN telah dihentikan. Walhasil, saat ini warga menghadapi kesulitan memenuhi kebutuhan dasar," tutur Syaifullah Fadli dihadapan awak media, dalam Konferensi Pers Jatam Kaltim dan LBH Samarinda terkait dengan permohonan dukungan kegiatan studi keanekaragaman hayati oleh PT KHN.
BACA JUGA:Jatam Desak Gubernur Rudy Mas'ud Lakukan Reklamasi 44 Ribu Lubang Tambang di Benua Etam
BACA JUGA:Fakta Baru Temuan BBPJN Kaltim! Pasca Tabrakan Tongkang ke Jembatan Mahakam
Pria yang akrab disapa Ipul itu mengungkapkan, relokasi tersebut bukan hanya memutuskan hubungan mereka dengan lingkungan asli, tetapi juga mengikis tatanan kehidupan dan budaya yang telah turun-temurun.
"Ini akan mengikis tatanan kehidupan, salah satunya prosesi adat dalam bercocok tanam dan upacara ritual,” ucap Ipul yang juga aktivis Gusdurian ini.
Tak hanya mengancam keberlangsungan ekosistem, kehadiran proyek itu dinilai dapat mengikis identitas budaya masyarakat Punan yang memandang hutan sebagai “air susu ibu.”
Sebelumnya, masyarakat Punan telah mengusulkan lokasi relokasi yang memungkinkan mereka mempertahankan cara hidup tradisional, termasuk akses ke sungai untuk mencari ikan dan berburu. Namun, negosiasi tersebut tidak mendapatkan respons memadai dari pihak perusahaan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

