Dilema Pejabat Publik
Oleh: Harjupri, S.ST Pemerintahan sebagai alat untuk mencapai tujuan dari negara mempunyai fungsi melaksanakan administrasi pemerintahan. Yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan perlindungan. Di antara tugas pemerintahan adalah membuat keputusan dan/atau tindakan sesuai kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan-keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintahan itulah yang kemudian disebut dengan kebijakan. Istilah kebijakan (policy) berbeda dengan kebijaksanaan (wisdom). Menurut para ahli, kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Ciri dari kebijakan antara lain ditandai dengan prilaku yang konsisten dan berulang, berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan tindakan untuk menyelesaikan masalah (action-oriented). Sedangkan istilah kebijaksanaan dalam praktiknya bisa disepadankan dengan istilah diskresi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pejabat pemerintahan merupakan unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Pejabat pemerintahan memiliki wewenang atau hak selaku pejabat pemerintahan maupun penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan maupun tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Yang perlu digaris bawahi, kewenangan yang dimiliki oleh pejabat pemerintah adalah kewenangan untuk melakukan keputusan maupun tindakan dalam ranah hukum publik. Bagi pejabat publik, hampir setiap saat selalu dihadapkan dengan situasi dan kondisi dilematis, yakni kondisi sulit akibat dari adanya permasalahan yang menawarkan kemungkinan solusi yang sama-sama sulit untuk dipilih. Semua pilihan solusi sama-sama tidak menyenangkan, tidak mengenakkan dan mungkin juga tidak menguntungkan. Namun demikian agar supaya ada kepastian hukum serta untuk tercapainya tujuan yang lebih besar di masa depan maka keputusan harus tetap diambil. Dalam hal ini mungkin pernah kita dengar istilah kebijakan populis dan tidak populis. Dinamika masyarakat di era kebebasan telah berlangsung sedemikian rupa sehingga merubah cara pandang masyarakat kepada pemerintah. Pada situasi tertentu masyarakat memposisikan diri sebagai mitra atau partner pemerintah dalam pembangunan, namun dalam situasi lain terkadang ada sekelompok masyarakat “tidak mau diatur” oleh pemerintah. Mereka menganggap karena pemerintah adalah pelayan masyarakat, maka sepatutnya semua hajat yang diperlukan dapat dilayani secara maksimal. Kondisi seperti ini terkadang membuat sebuah kebijakan menjadi sulit untuk dieksekusi secara ideal. Dalam komunikasi dikenal adanya gangguan yang bisa mendistorsi proses pengiriman pesan. Gangguan tersebut akan menyebabkan perbedaan antara pesan yang diterima oleh penerima (receiver) dengan pesan yang dikirim oleh sumber (source). Bisa jadi reposisi peran warga masyarakat dari mitra menjadi oposisi disebabkan adanya gangguan komunikasi. Jika gangguan tersebut tidak diatasi maka akan muncul sikap apatis dari sebahagian warga masyarakat, sikap acuh, tidak peduli dan bahkan menganggap salah semua kebijakan yang ada. Dalam situasi seperti ini semua pihak mesti bisa arif dan bijaksana. Dulu keputusan kurang melibatkan partisipasi warga masyarakat karena keputusan di ambil secara top down. Sekarang era-nya berbeda, proses kebijakan publik melibatkan partisipasi masyarakat karena kebijakan dilakukan secara bottom up. Sekalipun demikian, tentu tidak semua kepentingan bisa diakomodir karena perumusan sebuah kebijakan tetaplah harus berdasarkan kepada norma hukum dan norma etik, artinya upaya kompromi yang dilakukan tetaplah tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Urusan-urusan publik memang akan selalu memunculkan dilema. Upaya kompromi aspirasi dan akomodasi kepentingan dengan berbagai peraturan yang berlaku tidak pernah bisa benar-benar melahirkan win-win solution. Bagi yang kepentingannya tidak terakomodir, maka mereka dengan mudah menyatakan dirinya sebagai “korban”. Namun lain halnya bagi pejabat yang diberi kewenangan, mereka di sumpah untuk melaksanakan urusan publik sesuai peraturan yang berlaku serta mempunyai tanggung jawab untuk melakukan eksekusi kebijakan yang sudah diputuskan. Belum lagi ekspektasi dari warga masyarakat yang sangat tinggi terhadap pejabat publik. Seolah pejabat publik adalah figure setengah “Malaikat”. Harta kekayaan sebelum menjabat, saat sedang menjabat dan setelah menjabat harus dilaporkan. Gestur, cara berbicara, pilihan diksi dan cara memberikan solusi atas suatu permasalahan menjadi sorotan publik. Profil keluarga, hobi, busana dan makanan juga tak luput dari perhatian. Seakan privasi itu dikecualikan dari pejabat publik. Maka menjadi pengelola urusan publik harus memiliki kesiapan secara lahir maupun batin, harus memiliki kecerdasan spiritual, emosional dan sosial. Sebuah dialog antara Umar bin Abdul Azis dan putranya Abdul Malik menggambarkan totalitas pengabdian seorang pemimpin. Disebutkan bahwa Kholifah Umar bin Abdul Azis ingin istirahat sejenak, sekadar meluruskan punggungnya setelah tenaga dan pikirannya terkuras untuk mengurusi wafatnya Khalifah sebelumnya yakni Sulaiman bin Abdul Malik. Lalu datanglah putra beliau Abdul Malik yang baru berumur 17 tahun. Abdul Malik : “Apa yang ingin anda lakukan wahai amirul mukminin?” Umar bin Abdul Azis: “Wahai anakku, aku ingin memejamkan mata barang sejenak karena sudah tak ada lagi tenaga yang tersisa.” Abdul Malik : “Apakah anda akan tidur sebelum mengembalikan hak orang-orang yang dizalimi wahai amirul mukminin?” Umar bin Abdul Azis : “Wahai anakku, aku telah begadang semalaman untuk mengurus pemakaman pamanmu Sulaiman, nanti jika telah datang waktu zuhur aku akan salat bersama manusia dan akan aku kembalikan hak orang-orang yang dizalimi kepada pemiliknya, Insya Allah.” Abdul Malik : “Siapa yang menjamin bahwa anda masih hidup hingga datang waktu zuhur wahai amirul mukminin?”. Dialog diatas menggambarkan betapa pengelola urusan publik dituntut untuk memberikan totalitas pengabdiannya dalam memberikan pelayanan publik. Seorang pengelola urusan publik dituntut untuk memiliki tapak kaki yang kokoh dan punggung yang kuat agar mampu memikul beban berat. Seorang pengelola urusan publik juga dituntut untuk sabar menghadapi dilema, sebab sekalipun kebijakan yang diputuskan itu sudah benar, belum tentu bisa diterima oleh seluruh warga masyarakat.(*) (Penulis adalah Lurah Tanjung Redeb)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: