Abstraksi Tugu Pesut: Ketika Seni Visual Berhadapan dengan Identitas Kultural

Abstraksi Tugu Pesut: Ketika Seni Visual Berhadapan dengan Identitas Kultural

Rina Juwita, Dosen Fisip Universitas Mulawarman.-dok pribadi.-Disway Kaltim

Oleh: Rina Juwita (Dosen FISIP Universitas Mulawarman)

KOTA-KOTA di Indonesia sering menggunakan tugu atau monumen sebagai simbol identitas lokal. Di Samarinda, Kalimantan Timur, Tugu Pesut menjadi salah satu ikon yang mempresentasikan budaya dan kekayaan alam setempat.

Namun, ketika Tugu Pesut mengalami interpretasi ulang dalam bentuk abstraksi seni visual, muncul perdebatan: apakah abstraksi ini memperkaya identitas kultural atau justru menjauhkan masyarakat dari akar budayanya?

Dalam kajian komunikasi, simbol seperti Tugu Pesut memiliki peran penting dalam membangun identitas kolektif. Sebagai bagian dari komunikasi visual, tugu ini bukan sekadar dekorasi, tetapi juga media untuk menyampaikan pesan tentang nilai-nilai budaya dan sejarah lokal.

Ketika bentuk pesut yang asli berubah menjadi abstrak, makna visualnya menjadi lebih terbuka untuk interpretasi, yang bagi sebagian orang bisa memperkuat nilai seni, tetapi bagi yang lain bisa menimbulkan alienasi.

Baca Juga: Kebijakan Kenaikan PPN 12%: Masyarakat Tuai Kontra Terhadap Beban Ekonomi Semakin Mencekik

Perdebatan tentang abstraksi ini menunjukkan adanya benturan antara seni modern dan tradisi kultural. Seni abstrak sering kali dipahami sebagai ekspresi kreatif yang mengutamakan interpretasi personal atau universal, sementara masyarakat lokal cenderung menginginkan representasi yang lebih literal dan terhubung dengan cerita mereka.

Dalam konteks ini, komunikasi menjadi jembatan yang sangat diperlukan untuk menjelaskan maksud di balik desain abstrak tersebut.

Namun, apakah komunikasi tersebut sudah dilakukan dengan baik? Banyak masyarakat Samarinda nampaknya merasa kehilangan keterikatan emosional dengan simbol Tugu Pesut setelah transformasi ini.

Tanpa penjelasan yang jelas dari pihak pemerintah atau seniman penciptanya tentang maksud abstraksi tersebut, masyarakat dibiarkan berjuang memahami simbol baru ini sendiri. Hal ini menciptakan celah komunikasi yang memperbesar jarak antara seni modern dan pemahaman publik.

Ketika simbol budaya diubah, dialog dengan masyarakat harus menjadi langkah awal. Dalam teori komunikasi partisipatif, masyarakat lokal adalah pemangku kepentingan utama dalam setiap keputusan yang menyangkut simbol budaya mereka.

Sayangnya, dalam kasus Tugu Pesut, banyak yang merasa keputusan ini terlalu sepihak, tanpa melibatkan diskusi yang mendalam dengan masyarakat adat, budayawan, atau warga setempat.

Baca Juga: Mengadopsi Literasi Asesmen Pola Selandia Baru untuk Pendidikan Berkualitas di Kalimantan Timur

Padahal, simbol seperti Tugu Pesut bukan hanya tentang seni, tetapi juga representasi sejarah dan identitas. Pesut Mahakam, mamalia air tawar langka yang menjadi inspirasi tugu ini, adalah bagian integral dari narasi lingkungan dan kebanggaan Samarinda.

Ketika desainnya diubah menjadi abstrak, ada risiko makna ekologis dan kultural ini menjadi kabur di mata masyarakat.

Di sisi lain, kita tidak bisa menafikan bahwa seni abstrak juga memiliki keindahan dan daya tarik tersendiri. Seni modern sering kali bertujuan untuk menggugah pemikiran dan membuka ruang interpretasi baru. Tapi, ketika seni modern bersinggungan dengan simbol budaya, komunikasi harus dirancang secara strategis agar masyarakat tidak merasa terpinggirkan oleh interpretasi baru tersebut.

Seni dan budaya seharusnya tidak berseberangan. Mereka bisa saling melengkapi jika dikelola dengan komunikasi yang tepat. Misalnya, jika seniman atau pemerintah menjelaskan secara gamblang bagaimana desain abstrak ini masih merepresentasikan pesut, dan bagaimana abstraksi ini justru memperkuat identitas budaya Samarinda dalam konteks global, mungkin penerimaan masyarakat akan lebih positif.

Namun, komunikasi bukan hanya tentang menjelaskan, tetapi juga tentang mendengarkan. Dalam kasus Tugu Pesut, kritik dari masyarakat harus dianggap sebagai umpan balik yang berharga. Jika banyak warga merasa tugu ini tidak lagi merepresentasikan budaya mereka, itu artinya ada kegagalan komunikasi dalam menjembatani visi seni dengan harapan masyarakat.

Selain itu, media juga memiliki peran penting dalam membentuk persepsi publik terhadap simbol budaya. Sayangnya, pemberitaan tentang Tugu Pesut sering kali hanya berfokus pada kontroversi, tanpa memberikan ruang bagi diskusi yang lebih mendalam tentang seni, budaya, dan identitas.

Baca Juga: Masyarakat Adat Mului (Bagian 3): Kabar Bahagia untuk Sang Ibu Kehidupan

Ini menunjukkan perlunya komunikasi yang lebih inklusif, tidak hanya antara seniman dan masyarakat, tetapi juga melibatkan media sebagai fasilitator dialog.

Abstraksi seni memang sering memunculkan resistensi awal, terutama ketika ia bersinggungan dengan simbol budaya yang sudah mendarah daging. Tapi resistensi ini tidak harus diartikan sebagai penolakan total. Ia adalah tanda bahwa masyarakat peduli terhadap identitas mereka. Jika komunikasi dilakukan dengan baik, resistensi ini bisa berubah menjadi apresiasi.

Penting juga untuk mempertimbangkan generasi muda dalam diskusi ini. Bagi generasi yang lebih tua, bentuk pesut yang literal mungkin lebih bermakna karena terkait dengan kenangan dan tradisi. Tapi bagi generasi muda, abstraksi mungkin menawarkan perspektif yang lebih segar dan relevan dengan perkembangan zaman.

Komunikasi lintas generasi ini perlu difasilitasi agar Tugu Pesut bisa menjadi simbol yang inklusif untuk semua kelompok.

Baca Juga: Masyarakat Adat Mului (Bagian 1): Sang Penjaga Warisan Leluhur di Tanah Paser

Sebagai simbol publik, Tugu Pesut adalah bagian dari komunikasi visual kota Samarinda kepada dunia luar. Abstraksi mungkin bisa memberikan daya tarik internasional, tetapi identitas lokal tidak boleh dikorbankan. Komunikasi strategis harus mampu menjaga keseimbangan antara aspirasi lokal dan daya saing global.

Di masa depan, kolaborasi antara seniman, pemerintah, dan masyarakat lokal harus menjadi prioritas dalam proyek seni yang menyangkut simbol budaya. Pendekatan komunikasi yang partisipatif tidak hanya akan menghasilkan karya yang lebih diterima, tetapi juga memperkuat rasa memiliki masyarakat terhadap simbol tersebut.

Tugu Pesut, dalam bentuk apa pun, tetap menjadi pengingat bahwa seni dan budaya adalah refleksi dari nilai-nilai kita sebagai masyarakat. Ketika keduanya saling berhadapan, komunikasi menjadi kunci untuk menjembatani perbedaan dan menciptakan harmoni. Sebab, pada akhirnya, simbol seperti Tugu Pesut bukan hanya tentang bentuk, tetapi tentang makna yang kita sepakati bersama. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: