Balikpapan Darurat Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, UPTD PPA Catat 208 Kasus Terjadi Sejak Januari 2024

Kepala UPTD PPA Balikpapan, Esti Santi Pratiwi (kanan) dan Psikolog Patria Rahmawati (kiri), saat memberikan paparan dalam diskusi publik AJI, Selasa (10/12/2024). (Disway/ Chandra)--
BALIKPAPAN, NOMORSATUKALTIM – Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Balikpapan mencatat ratusan kasus kekerasan terjadi di Balikpapan sejak Januari hingga November 2024.
Kasus ini meningkat signifikan setiap tahunnya, dari data yang dimiliki UPTD PPA pada tahun 2022 terjadi 82 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, meningkat menjadi 156 kasus pada tahun 2023, semetara pada tahun 2024 hingga November sudah terjadi 208 kasus kekerasan.
Kepala UPTD PPA Balikpapan, Esti Santi Pratiwi mengungkapkan bahwa sebagian besar korban kekerasan adalah anak perempuan, dengan kekerasan seksual menjadi kasus yang paling dominan.
“Kasus ini didominasi oleh kekerasan terhadap anak perempuan. Jenis kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual, dengan persentase 56 persen,” jelas Esti dalam diskusi publik AJI, yang digelar dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Selasa (10/12/2024).
BACA JUGA : Dispora Kaltim Siapkan Aplikasi "Sepakat" untuk Mendata Kegiatan Pemuda Se-Kaltim
Adapun berdasarkan data yang dihimpun dari UPTD PPA, tren peningkatan kasus kekerasan sudah terlihat sejak tahun 2019, yang mencatat 75 kasus.
Angka ini sempat turun 40 persen pada 2020 menjadi 45 kasus, sebelum kembali naik 60 persen pada 2021 dengan 72 kasus.
Lonjakan paling signifikan terjadi pada 2023, dengan kenaikan 90,24 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Esti menyebutkan bahwa peningkatan jumlah laporan kekerasan tidak hanya mencerminkan kondisi nyata di lapangan, tetapi juga keberhasilan sosialisasi yang dilakukan pihaknya.
BACA JUGA : Ketua MPR RI Bocorkan Jenis Barang Tidak Kena PPN 12 Persen, Apa Saja?
“Kami berpikir positif bahwa kenaikan ini mungkin mencerminkan keberhasilan kami dalam melakukan sosialisasi. Pada awalnya, masyarakat menganggap kekerasan sebagai aib yang tidak perlu dilaporkan, terutama jika pelakunya adalah orang terdekat,” kata Esti.
Disamping itu, sosialisasi intensif yang dilakukan oleh UPTD PPA dinilai berhasil mengubah cara pandang masyarakat terhadap kekerasan.
Jika sebelumnya banyak korban atau keluarga yang enggan melapor karena alasan malu atau takut akan dampaknya, kini semakin banyak yang berani menyuarakan kasus yang mereka alami.
“Dulu, ada banyak kasus di mana korban enggan melapor karena takut dampaknya. Misalnya, jika suaminya dipenjara, siapa yang akan menafkahi keluarga? Beberapa orang bahkan mengirim anaknya ke pesantren sebagai cara menyelesaikan masalah,” ungkap Esti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: