Catatan Perjalanan ke Negeri Tirai Bambu (2) ; Tantangan Pertama, Mencari Makanan Halal

Catatan Perjalanan ke Negeri Tirai Bambu (2) ; Tantangan Pertama, Mencari Makanan Halal

Salah satu pamandangan restoran halal di Shanghai. Penjaganya mengenakkan peci dan berjaga di luar restoran, tampak rombongan CFK keluar dari restoran. (Bayong/Disway Kaltim) Menemukan makanan halal ibarat mencari jarum ditumpukkan jerami. Ada, namun tidak mudah ditemukan. Baharunsyah, Shanghai.   GEDUNG-gedung menjulang. Di kota baru. Sebutan untuk kawasan metropolitan. Di pusat kota Shanghai. Saya bersama rombongan tur dari CFK baru mendarat melalui bandara Shanghai Pudong Airport. Tantangan pertama adalah mencari makan. Yang halal. Di Shanghai, makanan halal ibarat jarum di tumpukan jerami. Susah dicari. Lokasinya tersendiri. Dapatnya justru di jalan-jalan sempit. Bahkan hanya beberapa meter dari trotoar. Saat tiba makan siang, akhirnya kami mendapati rumah makan halal. Tampilan luarnya biasa saja. Saat di dalam, kami kaget. Ternyata karyawannya mengenakkan peci. Karyawati mengenakkan jilbab. Meski hanya menutup leher. Meja makan penuh. Oleh warga lokal. Kami sempat kaget. Ternyata restoran halal juga diminati etnis Tionghoa.   "Di sini jangan makan bakpao dan gorengan. Karena bakpao pasti (ada,Red) daging babi. Gorengan pasti pakai minyak babi," ulas As San, pemandu tur kami.   Restoran halal di Shanghai memilih menggunakan minyak nabati. Dari minyak biji-bijian. Terutama kelapa sawit. Menu yang disuguhkan kepada kami adalah daging goreng rempah. Beberapa sayur hijau. Juga ikan.   Menu kari ala Timur Tengah juga disiapkan. Di sini uniknya. Hampir di semua restoran halal menyediakan itu. Roti kering. Biasanya disantap dengan kari. Penyajiannya berbeda-beda di setiap restoran.  Restoran pertama kami singgah tadi, roti sudah ditaruh dalam wadah. Kemudian direndam kuah kari.   Di luar restoran juga ramai. Tepat di sebelah kiri. Hanya dipisah satu toko. Tidak sampai 10 meter. Toko itu bertuliskan Halal Beef Shop. Label halal terpampang. Tukang jagal dagingnya bukan dari Tiongkok. Melainkan dari Timur Tengah. Sambil memegang daging potong yang digantung, pembeli tawar menawar dengan penjual. Bahkan sambil teriak. Menariknya, ada pula pembeli yang mengenakkan peci putih. Nah, restoran kedua beda lagi. Kami tiba sekitar pukul 19.00 untuk makan malam. Sebagai catatan, waktu di Shanghai sama dengan di Kaltim. Namanya Northwest Cuisine Restaurant. Milik Hasan Mashao-yi. Lokasinya di Hankou Road. Atau Zhejiang Road. Nomor 589. Beberapa blok dari Nanjing Road. Pusatnya Shanghai. Di sini yang makan tidak lagi hanya etnis Tionghoa. Ada juga dari India. Pakistan. Beberapa pengunjung ada yang berjilbab. Termasuk dari etnis Tionghoa sendiri. Di luar, saya melihat seorang koki sedang memasak sate. Perawakannya besar. Tingginya sekitar 169 sentimeter. Ia mengenakkan seragam serba putih, peci putih, dan handuk putih di leher.   Kata As San tidak semua pekerja di restoran halal adalah muslim. Contohnya tukang bakar sate tadi.  Saat saya tanya, "Are You Moslem?" dia hanya geleng-geleng. Saya menduga demikian. Mungkin karena tangan kanannya bertato. Perjalanan kami beralih 1.318 kilometer ke utara Shanghai. Beijing. Kondisinya juga serupa. Restoran halal sama langkanya. Salah satunya di distrik Chaoyang. Beda dengan Shanghai. Restoran halal di sini lokasinya tidak di pinggiran kota. Papan reklamenya besar. Dekat dengan pusat kota. Di dalam restoran kami disuguhi kaligrafi Bismillah. Kemudian ada jejeran foto pemilik resto. Berfose dengan artis ternama. Chow Yun Fat. Artis kawakan asal Tiongkok. Namun tampilan sang legenda berbeda. Chow Yun Fat sudah tumbuh kumis dan jenggot panjang seperti pengikut Taoisme. Menu yang disajikan lagi-lagi sama. Roti dengan bumbu kari. Kemudian daging goreng rempah yang ditaburi daun bawang. Termasuk sayur dan ikan. Kuliner Tiongkok dengan Indonesia sedikit berbeda di lidah. Namun bahan dasarnya tidak jauh-jauh dari bawang, jahe dan rempah.   “Rempahnya terlalu kuat. Ini seperti makanan di kawasan Uighur,” tutur Direktur Keuangan PT Kaltim Electric Power Group Marsudi Sukmono. Tidak ada pililhan. Kami semua harus makan itu selama seminggu perjalanan. Sebenarnya ada satu menu yang cocok. Terfavorit bagi kami sebagai pengunjung dari nusantara. Telur dadar goreng. “Kalau begini kita serasa di Indonesia,” ujar Kriswana Hadi Trisnadjaja sambil melahap telur dadar disertai nasi hangat di atas meja.     Kuliner lain yang kami coba adalah Bebek Beijing. Di Indonesia kita familiar menyebutnya Bebek Peking. Disajikan di Dabeng Restaurant, Beijing. Bukan bebek utuh. Dagingnya sudah diasap. Dipotong-potong. Agar bisa diambil dengan sumpit. Cara makannya? Celup dulu daging bebek di atas saus kecap khusus. Setelah itu taruh di atas lembaran lumpia basah. Jangan lupa potongan sayur dan (lagi-lagi) bawang kemudian gulung dan makan. Tak sampai lima menit. Piring bersih. Daging bebek dan lembaran lumpia basah ludes. Ternyata, telur dadar goreng dan Bebek Beijing lebih melejit di lidah kami. (bersambung/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: