Pemberhentian Aswanto Bukti MK Dibajak Oligarki

Pemberhentian Aswanto Bukti MK Dibajak Oligarki

Akademisi harus berbicara. Hakim bebas dan tanpa intervensi. Presiden dan DPR dilarang langgar konstitusi! Mahkamah Konstitusi jangan dibajak oligarkhi.

KEPUTUSAN DPR yang mengusulkan pemberhentian Aswanto untuk digantikan oleh Guntur Hamzah sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK), memperlihatkan bagaimana cara oligarki bekerja mengkooptasi Lembaga-lembaga Negara. Tujuannya jelas, untuk mengamankan agenda-agenda besar yang berkaitan dengan mulusnya penetrasi modal dan investasi. Kita tentu tidak lupa dengan omnibus law UU Cipta Kerja yang dikebut demi untuk memuluskan jalan bagi kelompok oligarki yang selama ini menyandera Negara. Mereka, para pengusaha, pemilik modal, investor, dan yang menjadi kaki tangannya di Indonesia, telah membajak produk undang-undang beserta Lembaga-lembaga negara untuk semakin mengokohkan dan melanggengkan kekuasaannya. Salah satu alasan DPR untuk menggantikan Aswanto dengan Guntur Hamzah, adalah soal ketidakpatuhan. Aswanto dianggap gagal mengamankan produk hukum yang dibuat oleh DPR bersama Pemerintah. Tidak terdapat dasar legitimasi segala putusan hakim harus tunduk pada legislatif. Pemisahan kekuasaan dan check and balances system mendorong penguatan masing-masing lembaga. Dalam hal ini, berkaitan erat dengan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan omnibus law UU Cipta Kerja sebagai produk hukum yang inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Bahkan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto, secara terang-terangan menyebut jika alasan pergantian Aswanto disebabkan karena produk-produk hukum DPR seringkali dianulir oleh Aswanto (CNN Indonesia). Asas hukum umum bahwa hakim bebas, hakim pula dapat melakukan rechtsfinding, fakta-fakta hukum pembentukan tidak dilihat oleh DPR. Hakim bukanlah tukang pos kepentingan DPR. Bahkan ia mengibaratkan penunjukan Aswanto sebagai Hakim MK oleh DPR seperti penunjukan direksi perusahaan oleh pemilik. Ini jelas logika yang salah. Memperlihatkan bagaimana intervensi DPR tersebut, justru menyerang dan meruntuhkan independensi MK. Keputusan DPR untuk menggantikan Aswanto dengan Guntur Hamzah, jelas merupakan tindakan yang inkonstitusional dan melanggara Undang-undang. Keputusan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang memadai. Hal tersebut menggambarkan bagaimana DPR hendak bekerja dengan cara-cara busuk yang menghalalkan segala cara, demi memuluskan semua produk hukum yang notabene jauh dari harapan publik. Keputusan DPR tersebut, mecerminkan upaya untuk menyandera MK agar keputusan-keputusan MK sejalan dengan kehendak politiknya. Bukan hanya untuk DPR semata, tetapi demi kepentingan para oligarki yang selama ini menyandera Negara. MK telah dibajak oleh oligarki! Anehnya, bahkan Presiden-pun bergeming. Tidak bereaksi sama sekali terhadap keputusan DPR tersebut. Sikap diamnya Presiden tersebut, pertanda kendali kekuasaan memang berada di tangan para oligarki. Bahkan keputusan DPR yang inkonstitusional dan melanggar Undang-undang inipun, Presiden bersikap permisif. Bahkan Presiden teteap kekeuh untuk tetap menggelar pelantikan terhadap pergantian Aswanto dengan Guntur Hamzah. Sikap abai Presiden ini mencerminkan jika Presiden seolah mengamini tindakan inkonstitusional yang telah dilakukan oleh DPR. Dan barang siapa yang membiarkan kejahatan, apa bedanya ia dengan penjahat itu sendiri? Jika Presiden masih memiliki telinga, maka seharusnya Presiden mendengar kritik publik. Bukan justru menutupnya rapat-rapat. Berdasarkan situasi tersebut, maka kami dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyatakan sikap sebagai berikut : 1.DPR harus mencabut keputusannya yang memberhentikan Aswanto dan menggantikannya dengan Guntur Hamzah. Tindakan tersebut merupakan inkonstitusional dan melanggar Undang-Undang. Keputusan DPR tersebut merupakan bentuk nyata dari intervensi lembaga peradilan, yang mengancam independensi MK. 2.Keputusan DPR yang memberhentikan Aswanto dan menggantikannya dengan Guntur Hamzah sebagai hakim MK, adalah bentuk pembajakan terhadap Lembaga Negara yang didesain untuk kepentingan para oligarki. MK telah dibajak oleh oligarki. 3.Presiden harus membatalkan pelantikan Guntur Hamzah yang menggantikan Aswanto sebagai hakim MK. Jika Presiden tetap bersikukuh melantik Guntur Hamzah, artinya Presiden telah mengamini tindakan dan keputusan DPR yang inskonstitusional dan melanggar Undang-undang tersebut. Presiden tidak taat dengan konstitusi! Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) adalah koalisi nasional peneliti dan akademi yang peduli dengan hak asasi manusia dan kebebasan dasar, terutama yang terkait dengan kebebasan akademik. KIKA diinisiasi pada 6 Desember 2017 dan menjadi organisasi yang lebih terkonsolidasi pada 2018. Organisasi ini bertemu setiap tahun untuk membahas perkembangan kebebasan akademik di Indonesia.  (*/Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)).  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: