Strategi Marketing agar Kaltim Dipilih Jadi Pusat Pemerintahan RI

Strategi Marketing agar Kaltim Dipilih Jadi Pusat Pemerintahan RI

KALAU ditanya kepada seluruh provinsi yang ada di Indonesia, apakah mereka siap untuk menjadi Ibukota baru, sebagai pengganti DKI Jakarta, maka secara serentak mereka pasti mengatakan, SIAP. Tidak ada satupun provinsi di Indonesia yang akan menolak untuk menjadi Pusat Pemerintahan RI, mengingat multiflier effect-nya sangat luar biasa, baik secara ekonomi, sosial, budaya, politik bahkan pertahanan dan keamanan. Bahwa saat ini Pemerintah Pusat akan mencanangkan secara top down atas 2 pilihan provinsi, yaitu Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah itu karena dilandasi berbagai macam kajian dan aspek yang sudah dikerjakan oleh Bappenas dan Kementerian terkait lainnya sejak beberapa tahun lalu. Dari sudut geografis maka memang hanya kedua provinsi inilah yang paling pas, untuk itulah Presiden Jokowi beberapa waktu lalu telah melakukan kunjungan ke kedua provinsi ini untuk “mencari chemistry” mana yang paling pas, sebelum memutuskan salah satu dari kedua provinsi tersebut. Dalam konteks itulah, maka pertarungan kedua provinsi menjadi semakin penting dan strategis. Menjual daerahnya masing-masing yang dalam bahasa manajemen disebut dengan” Strategi Marketing”. Hal ini penting untuk dilakukan pemerintahan Provinsi Kaltim mampu “menjual diri” agar pilihan itu jatuh ke Kaltim. Mengapa demikian? Ya, karena ada Provinsi Kalteng sebagai pesaing. Resep jitu, agar Kaltim terpilih sebagai pusat pemerintahan RI baru, dapat dilihat dari rekomendasi penulis, sebagai berikut : Pertama, lengkapi kajian yang telah dilakukan Pemerintah Pusat dengan kajian versi Pemerintah Provinsi Kaltim (mohon maaf, sampai saat ini penulis belum mengetahui persis apakah Bappeda Kaltim telah melakukan focus group discussion, kepada publik Kaltim jika memang kajiannya sudah dilakukan). Sepengetahuan penulis sebagai insan kampus dan akademisi, sampai hari ini, belum ada diskusi publik yang menampilkan kajian internal Kaltim ini. Penulis menyadari bisa jadi ada hal-hal penting yang terlewat dari kajian pemerintah pusat itu, yang justru ditemukan oleh kajian Pemprov Kaltim. Analisis yang sudah ada dalam kajian Bappenas, tidak perlu lagi dilakukan oleh Bappeda Kaltim. Bappeda Kaltim harus jeli dan memiliki analisis tajam bahwa kajian versi pemerintah Kaltim ini memang beda dan layak menjadi lampiran kajian Bappenas. Contohnya, Bappeda Kaltim perlu menampilkan dalam kajian tersebut, apabila dipilih sebagai pusat pemerintahan baru, maka dapat dipastikan dan dijamin bahwa kesenjangan Kawasan Barat Indonesia vs Kawasan Timur Indonesia semakin mengecil. Hal ini berarti bahwa dengan dipindahnya pusat pemerintahan tersebut maka esensi penting dari pemindahan pusat pemerintahan itu adalah dalam rangka “ Menjaga Keutuhan NKRI ”, sehingga isu KBI vs KTI itu menjadi hilang dan dapat dieleminasi. Mengapa isu keutuhan NKRI ini menjadi penting dalam kajian yang dibuat oleh pemprov Kaltim ini, karena fakta sejarah dunia sudah mencatat betapa kesenjangan wilayah itu adalah salah satu faktor utama hancurnya keutuhan sebuah negara. Contoh konkret adalah Uni Soviet, dimana saat itu terjadi kesenjangan Moscow sebagai Ibukota sangat tajam dengan daerah- daerah lainnya, yang sekarang ini pecah dan menjadi negara-negara kecil yang memiliki presiden masing-masing. Kebijakan dan situasi seperti ini tentunya sangat tidak kita kehendaki terjadi di NKRI, oleh sebab itulah isu pemindahan ibukota atau pusat pemerintahan RI bukan sekedar persoalan over capacity DKI Jakarta dengan berbagai kendalanya, tapi lebih penting dari itu adalah dalam rangka mempekecil jurang kesenjangan antara kawasan barat Indonesia dengan kawasan timur Indonesia, yang dicirikan dengan berbagai ketertinggalan pembangunan dan lemahnya infrastruktur yang ada. Penulis tidak mengetahui apakah analisis ini ada dalam kajian yang sudah di buat Bappeda Kaltim? Kedua, masih dalam konteks dokumen kajian.Apakah Pemprov Kaltim, sudah mengidentifikasi dan menghitung secara cermat efek ikutan dari pemindahan pusat pemerintahan ini, secara makro- mikro, misalnya berapa peluang aktivitas ekonomi yang tercipta, misalnya berapa peluang tenaga kerja yang terserap untuk kontruksi bangunan kementerian yang tercipta untuk 5 – 7 tahun yang akan datang. Berapa peluang sektor properti dan perumahan untuk memindahkan 1,5 juta Aparatur Sipil Negara (ASN) beserta keluarganya, dimana lokasi ideal pemukiman ini, mengingat Bukit Suharto yang digadang-gadang sebagai lokasi strategis dan termasuk dalam wilayah terdekat adalah Balikpapan, maka dapat dipastikan Balikpapan juga telah mengalami over capacity untuk pemukiman, maka pilihan terdekat adalah Penajam yang berada di wilayah kabupaten Penajam Paser Utara, yang relatif derahnya banyak memiliki lahan kosong untuk pemukiman. Untuk itu pelabuhan penghubung antara Balikpapan dan Penajam adalah sebuah kepastian infrastruktur yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, begitu juga halnya dengan peluang kuliner/makanan dan tenaga satpam/pengamanan untuk seluruh kementerian yang akan dibangun di lokasi yang dipilih. Begitu juga halnya dengan kepastian pengadaan energi listrik dan air bersih (PDAM). Intinya, dalam kajian ini harus jelas teridentifikasi secara kuantitatif persoalan-persoalan tersebut di atas. Ketiga, setelah dokumen-dokumen kajian internal Kaltim ini rampung, sebagai amunisi untuk membangun “strategi marketing“, selanjutnya bagaimana membangun komunikasi dan melakukan presentasi yang berbeda dengan presentasi kajian Bappenas. Sekali lagi, presentasi yang berbeda. Baik materi kajian maupun public speaking narasumber. Kemampuan narasumber ini menjadi catatan penting, karena sphare of influence, yang tercipta dibenak pengambil keputusan di tingkat pusat sangat dipengaruhi kemampuan style dan public speaking yang mumpuni, narasumber yang standar dan biasa-biasa saja perlu dihindari. Propinsi Kaltim butuh juru bicara yang betul-betul memiliki “ilmu marketing” kelas dewa agar terpilih sebagai pusat pemerintahan RI baru. Keempat, jujur penulis akui, keterlibatan kampus di Kalimantan timur, dalam hal ini Universitas Mulawarman sebagai satu-satunya PTN dengan nilai akreditasi A, sampai pada saat ini, sepengetahuan penulis, samasekali belum terlihat untuk dilibatkan dalam pembahasan internal kesiapan Kaltim sebagai pusat pemerintahan baru, apalagi sampai pada hari ini belum ada FGD atau pun seminar yang digagas untuk menjaring aspirasi warga menyambut rencana ini. Minimal dengan dilibatkannya warga Kaltim maka secara moral dan psikologis warga merasa dihargai dalam berpartisipasi untuk menyukseskan rencana pemindahan pusat pemerintahan ini. Kelima, bisa dilibatkan secara penuh PLN wilayah Kaltimtara dan PDAM Balikpapan, Kutai kartanegara, Samarinda, untuk menjadi bagian penting dalam setiap pembahasan rencana dan presentasi. Berikan kesempatan kepada Direktur Utama PLN Kaltimtara dan PDAM di tiga wilayah tersebut untuk membeberkan rencana yang disiapkan untuk menyambut Bukit Soeharto sebagai lokasi pusat pemerintahan. Penulis meyakini koordinasi terhadap elemen penting ini tampaknya juga belum dilakukan Pemprov Kaltim. Terakhir, apabila hal-hal tersebut di atas dapat dilakukan dengan baik dan strategi marketing untuk menjual daerah Kaltim sukses, maka penulis meyakini bahwa kesuksesan tersebut adalah buah kerja keras tim marketing yang mumpuni, bukan sekadar keputusan top down dari pemerintah pusat. (Aji Sofyan Effendi*) (*/Penulis Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis, dan Ketua Pusat Kajian Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah, Universitas Mulawarman, Samarinda).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: