Menonton Nagabonar di Tengah Gonjang Ganjing Industri Sawit
Oleh : Mochamad Husni - Praktisi Komunikasi dan Pekerja di Perusahaan Kelapa Sawit “Apa kata dunia?” Mungkin saja Nagabonar akan melontarkan kalimat retoris demikian pada saat pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor minyak sawit, April 2022 lalu. Setelah lawan bicara berargumen, tokoh fiktif rekaan pengarang serba bisa Asrul Sani ini barangkali sontak menyambar dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: “Kenapa ekspor minyak sawit dilarang?” Supaya stok dalam negeri terpenuhi. “Ya… kenapa ekspor minyak sawit dilarang?” Karena minyak goreng langka. “Aku tahu…. Tapi,… kenapa ekspor minyak sawit dilarang?” Dst… dst. Nagabonar akan terus bertanya, lengkap dengan logat dan mimik wajahnya yang tegas, keras bersuara berat. Di balik pertanyaannya yang seolah tanpa dipikir itu, tersirat rasa heran yang teramat dalam. Seperti saat ia menggugat dasar berpikir orang-orang yang membuat Patung Jenderal Sudirman dalam posisi berdiri tegap sambil memberi hormat. Seakan sebagai pejuang justru harus menghormati para pengendara mobil di Jalan Jenderal Sudirman. Atau, ketika ia memaksa bajaj yang ditumpanginya tetap melintas ke jalan raya yang dilarang bagi kendaraan roda tiga. Andai Nagabonar benar hadir di dunia nyata bersama kita, mungkin saja nada protes terhadap kebijakan pelarangan ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) itu sungguh-sungguh ia ucapkan. Kelapa sawit dan hidup Nagabonar memang sangat erat. Pada sekuel pertama gambaran tentang kelapa sawit sebenarnya sudah terlihat. Saat itu, perkebunan salah satu komoditas yang banyak dibudidayakan di Sumatera ini hanya sebatas latar belakang lokasi tempat pertempuran pasukan jenderal Nagabonar. Dalam mengorganisir Laskar Rakyat di rentang 1945 – 1949 menghadapi Belanda yang membonceng sekutu dan berusaha kembali menjajah Indonesia setelah Jepang menyerah kalah. Entah apa pertimbangan tokoh-tokoh di balik produksi film ini, setelah perang kemerdekaan berlalu, pada sekuel kedua dalam film “Nagabonar jadi 2” yang beredar di 2007, petani sawit dipilih sebagai pekerjaan paling cocok dengan tokoh ini. Sebagai petani sawit, hidup Nagabonar tampak sangat berkecukupan. Bonaga, tokoh yang diperankan Tora Sudiro sebagai anak kandung Nagabonar dapat mengenyam pendidikan yang baik, tumbuh menjadi pemuda modern lulusan perguruan tinggi di Jerman. Tidak seperti sang bapak, Nagabonar yang diperankan Deddy Mizwar. Membaca saja ia tidak bisa. Bisnis sang putra di Jakarta pun sukses. Nagabonar tetap tinggal di Medan mengurus kebun sawit di mana pada salah satu lahannya terbaring jasad orang-orang yang sangat ia cintai: emak, istri yang bernama Kirana, dan Bujang yang tewas tertembak peluru saat nekat menyerang markas musuh. Seperti apa bentuk protesnya terhadap pelarangan ekspor CPO, saya tak kuasa mereka-reka. Saya bukan penulis skenario film yang sukses meraih banyak penghargaan itu. Bukan pula produser atau sutradara tontonan yang kini sudah mencapai sekuel ketiga. Sekuel ketiga dengan judul “Naga Naga Naga” tayang mulai 16 Juni 2022, sekitar tiga bulan setelah kebijakan pelarangan ekspor CPO diterbitkan. Mungkin juga, Nagabonar sama sekali tak mengajukan keberatan soal pelarangan ekspor minyak sawit, kisahnya sangat tergantung skenario dan sutradara. Meskipun demikian, di dunia nyata protes terhadap kebijakan pelarangan ekspor CPO memang benar-benar terjadi. Sebagian besar disuarakan para petani sawit. Di Indonesia, jumlah masyarakat yang menggantungkan hidup dari perkebunan kelapa sawit makin signifikan. Ini menandakan masyarakat yakin dan merasakan dampak positif kelapa sawit yang sangat menguntungkan. Data Kementerian Pertanian menggambarkan bahwa tutupan perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 16,38 juta ha. Dari luasan itu, sekitar 6,7 juta ha adalah kebun kelapa sawit yang dikelola masyarakat. Dari sisi komposisi kepemilikan, sekitar 42% perkebunan kelapa sawit, pemiliknya adalah masyarakat petani. Sisanya, milik korporasi. Dari tahun ke tahun jumlah petani sawit pun terus meningkat. Setidaknya ada Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menggelar unjuk rasa di Jakarta. Mereka datang dari daerah-daerah penghasil sawit. Sambil menyuarakan pendapat di hadapan pengambil kebijakan pemerintah, para petani sawit bahkan membawa tandan buah sawit dan berharap kebijakan tersebut dievaluasi. Bila pelarangan ekspor CPO terus berlanjut, pabrik-pabrik tak mau membeli hasil panen petani sawit. Buah-buah sawit akan lebih baik dibiarkan membusuk di pohon. Padahal, sebagaimana diungkapkan para pakar, peluang industri kelapa sawit nasional sangat luar biasa. Daya saingnya dibanding minyak nabati lainnya kian tak tertandingi. Produknya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kandungannya juga dapat digunakan sebagai energi terbarukan. Perang Rusia – Ukraina menambah tinggi tingkat permintaan CPO di pasar global. Itu berarti, harga CPO bakal kian meroket. Sebagai orang jaman dulu yang tak mengenyam bangku sekolah, mantan copet yang kemudian dinobatkan sebagai jenderal ini mungkin juga tak paham bagaimana rumitnya mengelola negara. Nagabonar mungkin sungguh-sungguh tak mengerti bagaimana bisa negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia tapi warga negaranya justru dikabarkan mengalami kesulitan membeli minyak goreng. Kalaupun ada, harganya melonjak berkali-kali lipat. Tidak hanya di dalam negeri. Negara-negara yang biasa mengimpor pun sempat bereaksi. Diperkirakan, pemerintah kehilangan penerimaan negara dan pungutan ekspor hingga Rp 13 per triliun per bulan. Pada satu titik, kebijakan ini juga dapat berimbas ke pelemahan nilai tukar rupiah. Sebab, sekitar 12% dari total ekspor nonmigas nasional bersumber dari pengapalan CPO. Tak berapa lama setelah protes itu menyeruak, pemerintah mencabut kebijakan tersebut. Meskipun ekspor CPO diijinkan kembali, keadaannya masih belum normal seratus persen. Di bidang komunikasi, citra industri ini pun perlu dibangun lagi dan terus ditata agar senantiasa baik sehingga muncul dukungan yang solid dari semua pihak agar kelapa sawit menjadi komoditas yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Naga Naga Naga. Sekuel ketiga film ini baru dapat ditonton publik mulai 16 Juni 2022. Sangat menarik dan menghibur. Kolaborasi Citra Sinema dan MD Pictures ini menyuguhkan tontonan yang bermutu. Memang, isinya tidak spesifik mengangkat tema kelapa sawit. Tetapi atribut itu tetap melekat pada perjalanan keluarga Nagabonar yang dikisahkan sudah dikaruniai seorang cucu perempuan usia belasan bernama Monaga hasil pernikahan Bonaga dan Monita. Visualisasi kebun kelapa sawit terlihat di scene awal. Di sela hamparan hijau pohon-pohon kelapa sawit yang tertanam di atas lahan dengan kontur berbukit-bukit, tampak pematang sawah, bunga-bunga indah warna-warni, dan anak-anak yang ceria memanfaatkan lahan untuk bermain sepak bola. Begitu juga rumah panggung dari bahan kayu yang ditempati Nagabonar sehari-hari. Tampak asri dan menyatu dengan alam. “Opungnya itu harusnya di Medan sana, ngurusin kebon sawit, bukan ngurusin anak kita!” kata Monita yang diperankan Wulan Guritno dengan nada kesal kepada Bonaga, yang tetap diperankan Tora Sudiro. Secara verbal, kelapa sawit tampak pada dialog kedua tokoh ini. Keduanya adalah menantu dan anak Nagabonar yang resah membayangkan masalah pendidikan Monaga, anak perempuan mereka yang diperankan Cut Beby Tshabina. Bila Musfar Yasin, penulis skenario sekuel kedua membidik problem pembangunan lengkap dengan renungan tentang “penjajahan gaya baru” yang dampaknya mengubah banyak hal (termasuk pola pikir anak-anak muda seperti Bonaga dan teman-temannya), penulis skenario sekuel ketiga Wira Putra Basri tampak resah dengan pendidikan kita. Sebagaimana drama keluarga yang sudah sering kita tonton, generation gap menjadi pemicu persoalan. Kendati begitu, kesederhanaan problem inilah yang membuat “Naga Naga Naga” terasa dekat dengan penonton: bahwa kakek atau nenek yang amat mencintai cucu, seringkali berbeda style dan pemikiran saat berinteraksi dengan anak dan menantu. Ketika isu ini berkelindan dengan latar belakang pendidikan, persepsi, bayangan tentang masa depan, suasana pun menjadi semakin panas. Toh, penonton tetap tertawa, dan sesekali terharu dengan akting luar biasa yang ditunjukkan para pemain. Tentu saja, selepas menonton ada pesan-pesan yang membekas di pikiran. Satire yang ditampilkan film ini tampaknya hendak menggugah kesadaran kita tentang hakikat paling esensial dalam memerdekakan Indonesia. Bahwa ada yang keliru dengan pola dan sistem pendidikan kita. Nagabonar, meskipun tidak sempat mengenyam dunia pendidikan dengan baik, besar di jalanan sebagai pencopet, pernah dipenjara zaman Jepang dan ternyata menjadi seorang jenderal berusaha memberi teladan perihal bagaimana seharusnya dunia mencerdaskan bangsa. Bahwa kecerdasan seseorang itu tidak bisa sekadar dilihat dari nilai raport ataupun semata-mata gelar kesarjanaan. Yang paling penting adalah karakter. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, nasionalisme menjadi hal yang utama. Bila keduanya telah tertanam dalam dada, jangankan mengatasi kelangkaan minyak goreng, cita-cita menghapus kebodohan, kemiskinan dan ketimpangan sosial pun akan dengan mudah akan teratasi. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: