Hilangnya Tanggung Jawab Negara Terhadap Papua, Jokowi Kemana?
Apa yang terjadi di Papua adalah bukti pemerintah gagal dalam memberikan rasa aman bagi warga negaranya. Tidak salah kalau beberapa ahli mendeteksi adanya indikasi negara dalam mengelola konflik Papua. Kepentingan “pemerintah” akan Papua lebih besar daripada kepentingan orang Papua terhadap tanahnya sendiri. Tanah Papua kembali memakan korban jiwa. Aparat menjadi sasaran massa dan meninggal dunia akibat terpanah pada saat demo di Kantor Bupati Deiyai, dan dibenarkan oleh Letkol CPL Eko Daryanto. Selain itu massa demonstran juga membakar Gedung MRP (Majelis Rakyat Papua) dan menjebol lembaga permasyarakatan Abepura. Tidak puas membakar MRP, massa demonstran lanjut merusak pertokoan Abepura. Membakar mobil di kota Jayapura hingga membakar kantor Grapari Telkomsel. Pergolakan di Papua harus diselesaikan dengan akal sehat. Kejadian di Papua hari ini merupakan akumulasi kekecewaan persoalan lampau yang belum tuntas. Pemerintah mempertontonkan dengan jelas kegagalannya dalam memelihara perdamaian di tanah Papua. Dan sepertinya pemerintah tidak memiliki niat baik bagi dibukanya ruang dialog dengan serius dan benar. Kenyataannya, pemerintah selalu melakukan cara konfrontasi dengan cara menambah pasukan baik TNI dan Polri untuk mengamankan wilayah Papua dan melakukan kontak senjata yang menewaskan kedua belah pihak. Mungkin bisa sedikit belajar dari mantan presiden KH Abdurrahman Wahid alis Gus Dur yang pernah hadir langsung ke Papua pada posisinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Gus Dur menghadiri kongres rakyat Papua dan menyambut sang fajar pada tahun 2000. Dalam kesempatan ini juga Gus Dur secara resmi menyatakan nama Irian Jaya menjadi nama yang sesuai dengan tuntutan masyarakat, yakni Papua (George Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora). Bangsa ini harus kembali belajar sejarah dan membuka lembaran lama bagaimana kekerasan tidak pernah menyelesaikan persoalan dengan baik. Bagaimana penggunaan kekuatan militer hanya menambah derita masyarakat. Masih jelas dalam ingatan kita kasus di Aceh, Timor-Timur (Timor Leste) yang hanya meninggalkan bekas dan derita masyarakat. Tuntutan masyarakat Papua tidak pernah didengar oleh pemerintah, besarnya kepentingan terhadap Papua sehingga berkaitan dengan isu kemerdekaan Papua. Pemerintah ketakutan dan hanya memiliki satu jalan keluar, yakni menggunakan militer sebagai garda terdepan. Padahal dialog merupakan cara yang sangat baik. Dengan dihadirkannya perangkat elemen masyarakat. Seperti tokoh gereja, tokoh adat serta pemerintah daerah. Para tokoh masyarakat tersebut sangat terbuka terhadap adanya ruang dialog untuk menghindari jatuhnya korban. Baik dari masyarakat maupun aparat. Sehingga apa yang selama ini menjadi persoalan di tanah Papua, seperti pelanggaran HAM kemudian akan bisa ditekan sehingga tidak terulang kembali. Tidak elok rasanya jika Indonesia ataupun Pulau Jawa meragukan nasionalisme masyarakat Papua. Nasionalisme orang Papua tidak bisa disanksikan lagi. Gerakan-gerakan yang muncul di Papua bukan berarti merupakan sebuah makar. Yang kemudian melontarkan pernyataan bahwa nasionalisme sudah tidak ada lagi di masyarakat Papua. Tidak sadarkah kita. Tuduhan tersebut mengandung kebenaran atas adanya penggelapan nasionalisme masyarakat Papua dalam historiografi di Indonesia ataupun pada masa-masa sekarang. Padahal jika melihat history kebelakang, jiwa nasionalisme Papua lebih kuat daripada Jawa. Sebut saja contohnya bagaimana orang Papua yang pro Merah Putih harus berjuang 12 tahun lebih lama dibandingkan masyarakat Jawa. Kekuasaan Belanda di Papua Barat pada saat itu dapat berakhir dengan adanya perjanjian New York yang di tandatangani pada 15 Agustus 1962 dan diperantai oleh diplomat AS, Elsworth Bunker. Setelah Indonesia dinyatakan merdeka pada 18 Agustus 1945, kita harus ingat bahwa saudara kita Papua masih harus berjuang melawan Belanda. Akhirnya pada 1 Oktober 1962 Papua telah mendapatkan hasil puncak dari jiwa nasionalismenya melawan penjajah asing. Selama ini Indonesia selalu menganggap Organisasi Papua Merdeka sebagai musuh negara. Sehingga pada perjalanannya tidak sedikit bentrok dan perang terjadi yang menyebabkan jatuhnya korban di kedua belah pihak. Indonesia tidak pernah menghadapi OPM dengan kepala dingin. Bumi Papua terlalu mahal untuk dijadikan tempat permainan oleh pemerintah. Sudah saatnya perhatian ke Papua diarahkan dengan benar, dialog harus dibangun oleh Presiden dengan semua pihak. Pemerintah juga harus memulihkan kepercayaan warga asli Papua sehingga kasus-kasus rasisme seperti yang terjadi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya tidak terulang kembali. Selanjutnya untuk kemudian memperhatikan kembali otonomi khusus yang sudah akan berakhir dalam waktu dekat ini. Jikalau tidak efektif. Maka pemerintah seharusnya memberlakukan sama dengan keberadaan Aceh sebagai daerah istimewa. Sehingga masyarakat juga bisa terlibat dalam pembentukan partai lokal dan ikut berpolitik dan menentukan arah masa depannya. Intervensi pemerintah pusat harus diperkecil, pengarahan militer harus dihentikan dan seluruh aparat keamanan yang terlibat dalam setiap kasus penembakan di Papua harus ditangkap dan dihukum karena masyarakat membutuhkan kepastian. Intinya, pemerintah harus mempunyai niatan tulus untuk kemudian memberi perhatian dan mendengarkan suara masyarakat di Bumi Cenderawasih. Tidak hanya berdialog di media-media. Papua itu sejatinya Indonesia, Papua tidak hanya sekedar teriakan “monyet” semata. (*/Aktivis pendidikan di Asmat, Papua. Saat ini sedang menjalani studi magister di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: