Hak Veto Dewan Pers

Hak Veto Dewan Pers

Herdiansyah Hamzah. (Ist)

OLEH: HERDIANSYAH HAMZAH*

Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD) yang diperingati pada 3 Mei 2020 dicederai dengan upaya kriminalisasi terhadap insan pers. Tepat sehari setelah perayaan, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalimantan Selatan (Kalsel) menahan Diananta Putra Sumedi, eks pemimpin redaksi Banjarhits.id. Dengan tuduhan pelanggaran UU ITE. Ini tentu saja menjadi anomali di tengah perayaan hari kebebasan pers sedunia. Sekaligus pertanda kebebasan dan perlindungan pers di Indonesia masih menyisakan banyak hambatan.

Iklim kebebasan pers di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data dari Reporters Sans Frontieres (RSF) atau Reporters Without Borders, sebuah lembaga pemantau media yang berbasis di Perancis, Indeks Kebebasan Pers (World Press Freedom Index) Indonesia pada 2020 ini berada diperingkat 119 dari 180 negara. Atau naik lima peringkat dibandingkan tahun sebelumnya. Yang berada diperingkat 124. Indonesia memang masih lebih baik dibandingkan Filipina (136), Myanmar (139), Thailand (140), dan Brunei (152). Tetapi masih kalah dari Malaysia (101) dan jauh tertinggal dari Timor Leste (78).

Ada tiga aspek penting yang menjadi penilaian RSF dalam menentukan Indeks Kebebasan Pers ini: aspek hukum, politik, dan ekonomi. Aspek hukum menyoroti seberapa besar regulasi sebuah negara dalam mendorong iklim kebebasan pers. Sedangkan aspek politik menyoroti kebijakan negara yang berdampak terhadap kebebasan pers. Terutama terhadap respons atas kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Sementara aspek ekonomi menyoroti variabel ekonomi negara yang berdampak pada kebebasan pers. Termasuk pula mengenai kondisi keterpenuhan kebutuhan hidup layak jurnalis serta jaminan sosial yang disediakan.

HAK VETO

Jika kasus Diananta adalah sengketa pers, lantas mengapa tidak diselesaikan melalui protokol Dewan Pers? Bukankah Dewan Pers memiliki “hak veto” terhadap sengketa pers? Secara harfiah, hak veto dipahami sebagai hak konstitusional penguasa (pemegang kewenangan) untuk mencegah, menyatakan, menolak, atau membatalkan keputusan. Sebagai lembaga negara independen, Dewan Pers memiliki “hak veto” untuk menyatakan suatu pemberitaan masuk dalam kategori produk jurnalistik atau bukan. Hak veto ini adalah “kewenangan atributif” Dewan Pers. Yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).

Kewenangan Dewan Pers tersebut dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers. Yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi dewan pers adalah “memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers”. Pada bagian penjelasan pasal tersebut diuraikan, “Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik”.

Jadi, pada prinsipnya “sengketa terhadap pemberitaan pers adalah domain Dewan Pers”. Jika kita konstruksikan secara operasional, maka ada dua konsekuensi dari prinsip tersebut: Pertama, yang berhak menilai apakah pemberitaan pers itu masuk dalam kategori produk jurnalistik atau bukan adalah Dewan Pers. Ini adalah bentuk konkret dari penggunaan hak veto Dewan Pers. Kedua, karena Dewan Pers diberikan kewenangan untuk menilai suatu pemberitaan itu masuk dalam kategori produk jurnalistik atau tidak, maka putusan-putusan Dewan Pers atas penilaian tersebut otomatis (ex-officio) tidak bisa diganggu gugat lagi oleh pihak yang bersengketa.

REDUKSI KEWENANGAN

Jika putusan Dewan Pers tidak dapat diganggu gugat, lantas mengapa masih banyak putusan Dewan Pers yang justru berlanjut ke proses pidana? Di sinilah anomali bermula. Dalam dokumen Memorandum of Understanding (MoU) antara Dewan Pers dengan Kepolisian RI pada 2017, terdapat klausul yang “menggugurkan” sifat final dari putusan Dewan Pers. Pasal 4 ayat (3) MoU tersebut menyebutkan, “Apabila solusi penyelesaian langkah-langkah yang diputuskan oleh Dewan Pers tidak dapat diterima pihak pengadu, dan ingin menempuh proses hukum lainnya, maka pihak pengadu diminta mengisi formulir pernyataan di atas kertas bermaterai”.

Artinya, klausul dalam MoU tersebut memberikan ruang untuk menganulir putusan Dewan Pers. Dengan kata lain, “MoU ini telah mereduksi kewenangan Dewan Pers yang telah diberikan oleh undang-undang”. Namun secara hukum MoU tersebut memiliki kecacatan. Berdasarkan hierarki norma, kedudukan MoU lebih rendah dari undang-undang. Bahkan MoU bukanlah bagian dari perundang-undangan. Lantas bagaimana mungkin suatu MoU justru mengatur hal yang bertentang dengan undang-undang? Ini tentu tidak logis dan menjadi pertanyaan banyak kalangan. Seharusnya jika suatu pemberitaan pers sudah dinyatakan delik pers, maka hal tersebut murni kewenangan mutlak dari Dewan Pers.

Dalam kasus Diananta, Dewan Pers sejatinya sudah memberikan putusan sekaligus memberikan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR). Dengan demikian, masalah sengketa pers ini dinyatakan selesai. Dewan Pers memutuskan berita yang dilaporkan telah melanggar Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik. Karena menyajikan berita yang mengandung prasangka atas dasar perbedaan suku (sara). Dewan Pers kemudian merekomendasikan agar teradu melayani hak jawab dari pengadu dan menghapus berita yang dipermasalahkan. Kendati demikian, proses hukum di Polda Kalsel masih berlanjut hingga dilakukan penahanan terhadap Diananta. Bagaimana mungkin sengketa pers yang telah diputus oleh Dewan Pers justru berlanjut ke polisi? Hak veto Dewan Pers telah direduksi oleh kepolisian! (*Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: