Selain menyoroti perusahaan tambang swasta, Syafruddin juga menanggapi kebijakan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas), termasuk konsesi yang diberikan kepada Nahdlatul Ulama di wilayah bekas tambang PT KPC dengan luasan ribuan hektare.
BACA JUGA: Profit Sharing Kutim Terus Menurun, Sayyid Anjas Dorong Evaluasi dan Transparansi Perusahaan Tambang
BACA JUGA: Kecewa, Bupati Kutai Timur Sindir KPC: Lahan Bekas Tambang Tak Jadi Sumber Kehidupan
Ia menjelaskan, kebijakan tersebut memiliki dasar hukum yang jelas dan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Mineral dan Batubara. Regulasi tersebut merupakan hasil revisi undang-undang sebelumnya yang berangkat dari peraturan pemerintah pada masa Presiden Joko Widodo.
"Ketentuan itu sudah masuk dalam undang-undang. Ormas memang diberikan ruang untuk mengelola tambang, tetapi bukan berarti bebas dari pengawasan," kata Syafruddin.
Ia menegaskan, Komisi XII DPR RI akan menjalankan fungsi pengawasan secara ketat dan tidak membedakan antara perusahaan swasta, BUMN, maupun ormas. Semua pihak yang bergerak di sektor pertambangan, menurutnya, wajib tunduk pada aturan perundang-undangan yang berlaku.
"Kita tidak pandang bulu. Kalau melanggar, izinnya harus dicabut. Termasuk IUP yang dikelola oleh ormas," tegasnya.
BACA JUGA: Akademisi Unmul Ini Ingatkan Deforestasi Kaltim Masuki Fase Kritis
BACA JUGA: Deforestasi Kaltim Hampir Setara Gabungan 3 Provinsi yang Dilanda Bencana Banjir di Sumatera
Pengawasan tersebut, lanjut Syafruddin, mengacu pada Undang-Undang Minerba serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelanggaran terhadap kewajiban reklamasi, pemulihan lahan, dan perlindungan lingkungan dinilai sebagai pelanggaran serius yang harus berujung pada sanksi tegas.
Syafruddin juga mengungkapkan hasil komunikasinya dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait kondisi lingkungan di Kaltim. Dalam pertemuan tersebut, ia menyampaikan temuan terkait banyaknya lubang bekas tambang yang belum direklamasi.
"Data yang saya terima ada sekitar 1.700 lubang tambang yang tidak direklamasi. KLHK merespons serius dan berkomitmen turun langsung ke lapangan dalam waktu dekat," ujarnya.
Menurut Syafruddin, KLHK akan melakukan pengecekan untuk memastikan kepemilikan lubang-lubang tambang tersebut, apakah berasal dari perusahaan yang masih aktif beroperasi atau dari perusahaan yang sudah tidak lagi menjalankan kegiatan tambang.
BACA JUGA: Reklamasi Tak Direalisasikan sejak 2023, Masyarakat Geleo Asa Laporkan PT Kencana Wilsa
BACA JUGA: Jatam Desak Gubernur Rudy Mas'ud Lakukan Reklamasi 44 Ribu Lubang Tambang di Benua Etam
Jika lubang-lubang tersebut berasal dari perusahaan yang sudah tidak aktif, Syafruddin mendorong penegakan hukum pidana.