Keterlambatan APBD 2025, Wakil Ketua II DPRD Kutim Nilai Ada Masalah Serius di Tim TAPD
Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Kutim, Prayunita Utami-Sakiya Yusri/Nomorsatukaltim-
KUTIM, NOMORSATUKALTIM - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menyoroti lambannya realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025.
Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Kutim, Prayunita Utami menyebut keterlambatan tersebut tidak semata karena kendala teknis, melainkan mengindikasikan adanya persoalan serius dalam tubuh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
“Sudah pertengahan Juli, tetapi APBD yang disahkan sejak November 2024 belum juga terealisasi maksimal. Belanja operasional memang mulai berjalan, tapi belanja modal yang berdampak langsung ke masyarakat hampir belum terlihat,” ujar Prayunita.
Ia menilai, kondisi ini disebabkan oleh lemahnya koordinasi TAPD dalam merespons dinamika fiskal dan arahan pemerintah pusat.
BACA JUGA: Dokumen Anggaran Belum Ada, Pembahasan APBD Perubahan Kutim 2025 Terlambat
BACA JUGA: APBD Kutim 2025 Naik, Fraksi PIR Minta Pemkab Kutim Susun Langkah Strategis
Ia juga menyoroti proses pemangkasan anggaran yang dilakukan secara sepihak dan tanpa konsultasi dengan DPRD maupun SKPD terkait.
“Banyak SKPD kebingungan karena pemangkasan anggaran dilakukan sepihak. Ini jelas menunjukkan bahwa ada persoalan koordinasi dan komunikasi dalam internal TAPD yang belum terselesaikan,” tegasnya.
Prayunita mengungkapkan, bahwa hingga pertengahan Juli, DPRD Kutim belum menerima dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Perubahan, padahal Permendagri mewajibkan penyampaian dokumen tersebut sebelum akhir Juli.
“Ini sudah melenceng dari kerangka perencanaan nasional. Kalau dibiarkan, bisa berdampak pada terhambatnya seluruh proses pembangunan,” ujarnya.
BACA JUGA: RPJMD Kutim 2025-2029 Dipansuskan, DPRD Bakal Panggil Sejumlah Pejabat
BACA JUGA: Sekda Kutim Bantah Isu Menghilang: “Saya Tugas Luar Daerah, Bukan Menghindar”
Prayunita juga menyampaikan kekhawatiran atas memburuknya hubungan antara eksekutif dan legislatif akibat minimnya ruang dialog dan keterbukaan informasi.
“Kalau komunikasi anggaran berubah jadi keputusan sepihak, maka DPRD hanya jadi penonton. Ini sangat berbahaya bagi demokrasi dan akuntabilitas pemerintahan daerah,” katanya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
