Pengamat Unmul: Salah Kelola Hutan Jadi Akar Bencana Ekologis Kaltim
Pengamat Kebijakan Publik Unmul, Saiful Bachtiar-Mayang Sari/ Nomorsatukaltim-
BACA JUGA: Mulai 2026, Samarinda Tak Lagi Beri Ruang bagi Tambang
Saiful juga melontarkan kritik kepada kepala daerah, termasuk gubernur, yang kerap membanggakan luas hutan dan besarnya kontribusi sektor ekstraktif terhadap nasional.
"Jangan buru-buru bangga lalu mengklaim kita punya 8,5 juta hektare hutan atau menyumbang 30 persen energi nasional. Pertanyaannya, hutan yang mana dan rakyat yang mana sejahtera?," ujar Saiful.
Menurutnya, kepala daerah sering mengulang narasi keberhasilan ekonomi tanpa membaca dampak ekologis dan sosial di lapangan.
"Gubernur dan kepala daerah seharusnya tidak sekadar mengulang klaim pusat. Mereka mestinya berdiri membela keselamatan rakyat dan lingkungan daerahnya," lanjutnya.
BACA JUGA: Tanggapi Isu Banjir, Pemprov Kaltim Pastikan 1,6 Juta Hektare Sawit Tidak Keluar dari RTRW
Saiful menilai pemerintah daerah gagal bersikap kritis terhadap kebijakan perizinan tambang dan sawit yang ditarik ke pemerintah pusat.
Akibatnya, daerah hanya menerima dampak, sementara kewenangan strategis berada di luar kendali.
"Mitigasi bencana seharusnya dimulai sejak izin diterbitkan. Tapi kepala daerah cenderung diam, bahkan ikut mempromosikan investasi tanpa mengukur risikonya," ucap Saiful.
Ia juga mengkritik narasi tambang dan sawit sebagai motor kesejahteraan. Fakta di lapangan, menurutnya, menunjukkan masyarakat sekitar tambang di Kutai Kartanegara, Berau, dan Kutai Timur masih hidup dalam kondisi rentan.
BACA JUGA: DPRD Kubar Soroti Perusahaan Sawit yang Tidak Transparan Soal Pajak dan Plasma Masyarakat
"Yang sejahtera itu bukan masyarakat Kaltim, tapi pemilik modal. Keuntungan mengalir ke luar daerah, bahkan ke luar negeri," bebernya.
Selain itu, pemerintah, kata Saiful, tidak pernah membuka secara jujur luas tambang dan sawit, kepemilikan izin, serta kontribusi riilnya terhadap daerah. Minimnya transparansi data turut memperparah situasi ini.
Saiful menegaskan koreksi kebijakan tetap harus dilakukan meski terlambat. Prinsip pembangunan berkelanjutan perlu menjadi dasar utama arah kebijakan ke depan.
"Kalau kebijakan ini terus dilanjutkan tanpa koreksi, Kaltim, termasuk Kutai Timur, hanya akan mewarisi bencana ekologis bagi generasi berikutnya," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

