Mengukur Partisipasi Masyarakat dalam Perlindungan Kawasan Hutan (1)
OLEH: AMIRUDDIN LINDRANG Tujuh tahun sejak Indonesia melaksanakan kebijakan moratorium kawasan hutan untuk menekan perluasan lahan pertanian yang tidak lestari di atas hutan primer dan lahan gambut, laju kehilangan tutupan pohon tetap tinggi. Menurut data satelit terbaru dari Universitas Maryland dan Google yang tersedia di Global Forest Watch, kehilangan tutupan hutan Indonesia meningkat tajam pada 2012: seluas 928.000 hektare. Angka ini kemudian turun secara signifikan pada 2013. Lalu meningkat kembali pada 2014 dan 2015: masing masing seluas 796.500 hektare dan 735.000 hektare. Hampir separuh kehilangan hutan nasional pada 2015 terjadi di Kalimantan: mencapai 323.000 hektare. (WRI Indonesia, 2017). Studi terkini menunjukan bahwa perluasan lahan banyak terjadi di Kalimantan sejak 2005. Sebagian besar perluasan tersebut dilakukan dengan mengorbankan wilayah berhutan. Kebijakan moratorium hutan tidak berdampak besar pada perlindungan hutan. Dengan adanya keadaan tersebut, upaya sistematis dan terstruktur untuk melakukan transformasi perubahan dan pengelolaan lahan secara lebih lestari harus terus dilakukan. Walaupun proses perusakan lingkungan tetap terus berjalan dan kerugian yang ditimbulkannya harus ditanggung oleh banyak pihak. Tetapi solusi yang tepat tetap saja belum bisa ditemukan. Di sisi lain, sebenarnya sudah ada Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengaturnya. Tetapi tetap saja pemecahan masalah lingkungan di sektor hutan ini menemui jalan buntu. Hal demikian pada dasarnya disebabkan kesenjangan yang tetap terpelihara menganga antara masyarakat, industri dan pemerintah. Termasuk aparat penegak hukum (Aristeus, 2012). Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sudah tentu berpikir bagaimana memanfaatkan hutan sebagai sumber yang menopang kehidupan. Namun di sisi lain, bila tidak diatur dengan kebijakan yang juga tidak memerankan masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan konflik sumber daya alam. Yang juga berujung pada kerusakan hutan. Kondisi tersebut hendaknya menyadarkan kita bahwa peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat penting. Bukan hanya sebagai salah satu solusi dari persoalan ekonomi. Tetapi juga menjadi satu cara efektif. Guna menjamin kelestarian kawasan hutan. Keterlibatan aktif masyarakat di sekitar kawasan hutan sebagai penjaga utama dari hutan dan sebagai bagian serta pelaku utama bagi perlindungan hutan merupakan sesuatu yang wajar. Karena dalam kehidupan kesehariannya, masyarakat berinteraksi dengan hutan dan merupakan orang pertama yang langsung menerima dampak dari kerusakan hutan. Seperti bencana alam berupa banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan (Reed, 2008). Sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pencegahan perusakah hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum dan/atau koperasi yang memperoleh izin pemanfaatan hutan. Hal ini semakin memperjelas bahwa masyarakat, apalagi komunitas lokal, memilki peran ganda dalam perlindungan hutan: sebagai pemanfaat dan agen pencegahan kerusakan hutan. Salah satu langkah strategis untuk mewujudkan pengelolaan hutan adalah melalui pola Perlindungan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Pola ini ditengarai sudah ada sejak dulu: representasi kearifan lokal (local wisdom) masyarakat di sekitar hutan. Akan tetapi, pola ini terpinggirkan dengan adanya pola kebijakan pengelolaan hutan berbasis negara (state forest management) yang marak terjadi pada era Orde Baru. Bahkan di Era Reformasi pun demikian. Pola kebijakan ini cenderung eksploitatif. Sehingga menimbulkan dampak negatif: kerusakan lingkungan, konflik dengan masyarakat tempatan, konflik dengan satwa dan keterdesakan masyarakat adat. Salah satu contoh daerah berhutan dan dalam pengelolaan Hutan Tanaman adalah Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Di mana areal berhutannya dikelola oleh Perusahaan Hutan Tanaman Industri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam perlindungan kawasan hutan di Kecamatan Muara Kama berdasarkan hasil wawancara dan Focus Grup Discution (FGD) ditemukan bahwa persepsi masyarakat, pengetahuan masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam perlindungan hutan serta faktor-faktor yang mempengruhi partisipasi masyarakat dalam perlindungan lingkungan kawasan hutan seperti aktifitas perlindungan kawasan hutan, manfaat yang diperoleh masyarakat dalam pengelolaan hutan, adanya organisasi kemasyarakatan yang kuat, terbangunnya lembaga adat yang baik serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan sangat berpengaruh dalam membentuk partisipasi masyarakat dalam perlindungan hutan. Partisipasi selayaknya merupakan keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong untuk bersedia memberikan sumbangan bagi tercapainya tujuan atau cita-cita kelompok dan turut bertanggung jawab atas usaha-usaha yang dilakukan bagi kelompoknya. Menurut Goldsmith (Winarto, 2003), masyarakat tergerak untuk berpartisipasi jika partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan atau manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat. Partisipasi yang diberikan masyarakat kepada perusahaan sebagai mitranya selama ini merupakan hasil dari pendekatan yang dilakukan pihak perusahaan kepada masyarakat. Baik itu kepada para tokoh adat, tokoh agama, maupun perangkat desa. Adapun di Kecamatan Muara Kaman, partisipasi masyarakat dalam perlindungan hutan terukur sebagai berikut: Persepsi Masyarakat dalam Perlindungan Kawasan Hutan Partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat, pengetahuan masyarakat dan bentuk-bentuk partisipasi aktif masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat Kecamatan Muara Kaman terhadap perlindungan lingkungan kawasan hutan menunjukkan persepsi yang baik: sebesar 78 persen. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa pemahaman masyarakat Kecamatan Muara Kaman terhadap upaya perlindungan kawasan hutan sudah sangat baik. Baiknya persepsi masyarakat ini disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain faktor pelaku persepsi yang termasuk dalam sikap ini yaitu keutuhan atau motif, kepentingan atau minat dan pengalaman masyarakat. Seharusnya persepsi yang baik ini akan diikuti dengan perilaku yang baik dari masyarakat dalam menjaga, mengelola lingkungan hidup sekitar, dan perlindungan pada kawasan hutan. Dafid Krech (1962) dalam Budiman (2013) mengatakan, persepsi tergantung kepada harapan individu terhadap objek tersebut. Seandainya objek tersebut akan membawa hal yang positif, maka masyarakat cenderung akan menerima objek tersebut. Tetapi jika objek tersebut memberikan harapan negatif, mereka akan menolaknya. Untuk skala keseluruhan tingkat persepsi responden masyarakat Kecamatan Muara Kaman berada pada kategori baik. Responden yang dapat berpartisipasi dengan baik umumnya mempunyai keinginan untuk berpartisipasi melalui persepsi masyarakat dalam perlindungan kawasan hutan. Karena masyarakat mulai menilai bahwa pembangunan hutan tanaman industri dengan pola kemitraan akan memberikan manfaat bagi mereka sendiri dan bagi penduduk desa umumnya. Baik manfaat yang secara langsung maupun manfaat yang secara tidak langsung dirasakan. Pengetahuan Masyarakat dalam Perlindungan Kawasan Hutan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat baik: 82 persen. Walaupun dalam tingkat pendidikan terbanyak adalah tamatan SD yaitu sebesar 53 persen, tetapi masyarakat di Kecamaran Muara Kaman mampu memiliki pengetahuan tentang perlindungan kawasan hutan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Mengingat peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal. Akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non-formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek: aspek positif dan aspek negatif. Banyak hal yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Hal ini seperti yang terdapat dalam penelitian ini. Pendidikan bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh pada tingginya tingkat pengetahuan seseorang. Hasil penelitian tersebut didukung juga oleh pendapat Meliono (2007). Yang menyebutkan, pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor: usia, tingkat pendidikan, pengalaman, dan sumber informasi. (*Praktisi Kehutanan di Bidang Pengelolaan Hutan Tanaman Industri, Mediator Konflik Pemanfaatan SDA dan Social Specialis)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: