Menyiasati Rendahnya Harga Minyak; Efisiensi, Sesuaikan Biaya Produksi

Menyiasati Rendahnya Harga Minyak; Efisiensi, Sesuaikan Biaya Produksi

Rudi Rubiandini. (ist) Balikpapan, DiswayKaltim.com - Pengamat energi Rudi Rubiandini memprediksi, rebound harga minyak global  kemungkinan baru bisa dicapai tahun depan. Ia menyebut bahwa terganggunya pasokan dan permintaan minyak mentah dipengaruhi oleh dua hal. Pertama karena eskalasi geopolitik dunia yang berujung pada perang militer. "Seperti perang Irak vs Iran, Invasi Kuwait dan lain sebagainya," katanya. Krisis harga minyak dunia telah memasuki era baru, hingga menyentuh level terendah untuk pertama kalinya sejak 1950. Harga minyak bumi kini berfluktuasi di angka 20-30 dolar Amerika (USD) per barel. Hal tersebut merupakan akibat terganggunya proses supply dan demand di pasar minyak dunia. Kondisi ini diperparah dengan hantaman badai virus corona (COVID-19) yang melemahkan aktivitas ekonomi dunia. "Ini belum pernah terjadi sebelumnya," kata Rudi dalam sebuah webinar yang ditayangkan melalui kanal YouTube Energy Academy Indonesia. Hanya dalam tiga bulan terakhir, harga minyak terperosok dari USD 64 ke USD 26 per barel. Artinya, turunnya begitu tajam. Bahkan beberapa kali dalam kurun waktu tersebut, harga crude oil berada di bawah 20 USD per barel. Kondisi terparah terjadi akhir bulan lalu, ketika harga minyak mentah Amerika menyentuh titik ekstrem, yaitu negatif atau di bawah 0 dolar Amerika per barel. Jika anggapannya harga minyak dunia USD 20 per barel, pun itu masih berada di bawah angka operating cost atau biaya produksi minyak per barel beberapa negara produsen. “Maka bagi industri hulu migas kondisi ini akan terasa sangat berat," ujarnya. Wamen ESDM periode 2012-2013 dan Kepala SKK Migas (2013) yang telah melanglang buana di dunia migas internasional itu, menjabarkan suatu fase naik turunnya harga minyak dunia dalam tujuh dekade terakhir. Harga minyak dunia terendah yang pernah terjadi ialah ketika berada di USD 30 per barel, medio 1950-1970. Kemudian pada fase berikutnya, tahun 1980 harga minyak mentah berjaya dengan 70 USD per barel. Dan di era 1990-2000 harga minyak kembali menujam ke 40 USD per barel. Pada zaman itu juga disebut sebagai krisis harga minyak dunia. Sehingga dulu sempat memunculkan prediksi bahwa minyak bumi akan habis. "Tapi kenyataannya sampai hari ini masih ada," ucap Rudi. Minyak dunia pernah kembali berjaya di level USD 70 per barel. Masa yang disebut gelombang besar itu terjadi pada 2010. Baru sejak lima tahun terakhir, harga minyak dunia stabil di 50 USD per barel. Tapi secara tiba-tiba dunia dilanda pagebluk. Ekonomi menjadi lesu, permintaan akan minyak bumi menurun sekitar 30 persen dari kondisi normal. Harga minyak akhirnya terjun lagi ke 30 USD. Biangnya adalah ketika Rusia gagal menjaga kesepakatan dengan organisasi negara-negara pengekspor migas (OPEC) yang dimotori Arab Saudi, untuk menurunkan produksi minyaknya. Perselisihan komitmen itu berbuntut pada aksi dari kedua negara membanjiri pasar minyak global. Arab Saudi dan Rusia bersikukuh menggenjot produksi sumur-sumur produksi minyaknya. Akibatnya, negara-negara konsumen kewalahan menampung. Belum lagi, konsumsi BBM juga berkurang drastis akibat pergerakan masyarakat di banyak negara dibatasi. "Sehingga efek penurunannya parah sekali," tutur Rudi Rubiandini. Lantas, apa yang dimaksud dengan harga negatif? Konsultan bidang energi itu menjelaskan, fenomena itu terjadi pada saat-saat tertentu saja dan tidak akan bertahan lama. Dimana sebelum tanggal 25, terjadi transaksi terakhir. Ketika ada minyak mentah yang merupakan stok dari bulan sebelumnya (April), yang seharusnya dijual (Mei) tidak ada yang membeli. "Maka terjadilah penjualan dengan harga seadanya," bahkan minus sekalipun. Kenapa harus dijual? Karena jika seorang trader, yang di atas kertas sudah memiliki sejumlah minyak mentah, ia harus segera menjualnya, untuk mengirimnya pada bulan berikutnya (Mei). Bisakah kemungkinan harga minyak negatif itu terjadi lagi? Rudi mengatakan bisa saja terjadi lagi di akhir Mei nanti. Yakni, pada saat stok di dalam tangki belum berkurang, namun trader sudah harus melakukan pembelian lagi. “Sehingga si trader harus mencari pembeli, dengan harga berapapun,”. Namun setelah itu, pada hari-hari biasa harga minyak akan kembali ke posisi normal lagi pada range USD 20-30 per barel. Efek dari pada harga minyak dunia USD 20 per barel ini, akan memaksa negara-negara produsen yang angka cost per barrel-nya lebih tinggi dari pada angka itu untuk melakukan efisiensi. Berdasarkan data Average Cash Cost Per Barrel Of Oil Equivalent In 2016. Yang menempati biaya produksi (per barel) paling besar ialah United Kingdom (UK), yang mencapai 44.33 dolar. Menyusul Brazil 34.99 dolar. Kemudian Nigeria 28.99 dolar. Venezuela 27.62. Kanada 26.64. U.S. Shale 23.35. Norwegia 21.31. U.S. Non Shale 20.99. Sementara Indonesia umunya masih berada di bawah 20 USD, yakni sebesar 19.17 dolar. Negara lain yang biaya produksinya di bawah 20 USD ialah Rusia, Irak, Iran dan Saudi Arabia. Masing-masing sebesar 19.21 dolar, 10.57 dolar, 9.08 dolar dan 8.98 dolar. Solusinya untuk minyak dalam negeri, kata Rudi, ialah memilah lapangan-lapangan yang masih bisa menyesuaikan dengan harga minyak dunia saat ini untuk tetap dioperasikan. "Lapangan-lapangan yang biaya cost per barrel-nya tidak bisa menyesuaikan dengan harga minyak, mungkin harus mengurangi operasional," tandasnya. (das/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: