Pembangunan dalam Perspektif Ideologi

Pembangunan dalam Perspektif Ideologi

OLEH: HAIDIR AZRAN* Ideologi pembangunan dan pembangunan ideologi itu dua konsep yang sepintas sama. Namun sebenarnya makna keduanya sangat berbeda. Konsepsi “ideologi pembangunan” dapat bermakna ide dasar dan pondasi pemikiran dari desain umum pembangunan yang dilaksanakan. Ketika kita membangun Indonesia, maka kita melakukannya dengan pondasi yang sesuai karakteristik bangsa ini. Karakteristik bangsa Indonesia yang menjadi pondasi utama pembangunan itulah yang dimaksud sebagai pengertian ideologi pembangunan bagi Indonesia. Term “pembangunan ideologi” adalah program pembangunan yang diarahkan untuk membenahi, memperbaiki, menciptakan, memperkuat ideologi sebuah bangsa. Ketika kita bicara konteks pembangunan ideologi Indonesia, maka makna yang dapat dijelaskan di sini adalah adanya program pembangunan yang memperkuat dan menanamkan kembali atau membenahi cara pandang dan cara bersikap bangsa Indonesia terhadap Pancasila, terhadap nilai-nilai kebangsaan, dan nilai-nilai kemajemukan. Pembangunan ideologi meniscayakan perlunya membenahi perangkat-perangkat pemikiran dalam benak setiap orang. Hal itu didorong lewat progres-progres pembangunan. Gagasan “revolusi mental” misalnya. Yang telah diprogramkan ke dalam pembangunan. Arahnya jelas kepada konsep pembangunan ideologi. Bukan kepada konsepsi ideologi pembangunan. Namun output “revolusi mental” pada waktunya akan memberikan fondasi kuat bagi pembangunan-pembangunan di masa mendatang pada berbagai sektor. Tata nilai dan etos kerja (mental) yang tumbuh berkembang dan mengakar di tengah masyarakat sebagai output revolusi mental itulah yang menjadi ideologi pembangunan Indonesia. Setiap daerah di wilayah Indonesia memiliki kekhasan atau karakteristik yang menjadi pondasi, kultur, adat istiadat, dan pegangan masyarakat setempat. Kita biasa menyebutnya kearifan lokal. Ketika kita membangun daerah, kita mendasarkannya pada nilai-nilai kearifan lokal. Saat nilai-nilai itu mulai luntur, terganggu, dan terkikis, ada program untuk mengangkatnya kembali. Misalnya menghidupkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat lokal. Dalam makna general, menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal dapat disebut sebagai pembangunan ideologi. Ketika tatanan nilai lokal itu sudah mengkristal di tengah masyarakat, menjadi fondasi bagi setiap kebijakan dan sikap masyarakat dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan, maka hal itu akan menjadi pondasi untuk membangun sektor-sektor lain. Nilai-nilai yang dimaksud telah menjadi ideologi pembangunan. Apakah lurah, kepala desa, camat, kepala daerah, dan kepala negara dapat bergeser dari ideologi pembangunan yang menjadi ciri khas negara? Itulah yang kita khawatirkan. Tidak semua pemimpin mampu memilah nilai-nilai umum yang hidup di tengah masyarakat dan dapat menerjemahkan secara tepat di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Era global ini meniscayakan semua pihak untuk menawarkan konsep-konsep ideologi dari kelompok tertentu kepada kelompok yang lain. Pada saat bersamaan, semua pihak akan menerima banyak informasi terkait tawaran bermacam-macam ideologi. Dalam keadaan demikian, kekuatan kita hanya terletak pada pemahaman maksimal akan nilai positif sejarah dan budaya bangsa. Yang akan menjadi filter bagi faham-faham negatif yang kadang dibungkus dengan kemasan positif seperti atas nama agama, atas nama kemanusiaan, atas nama ekonomi, atas nama politik, dan atas nama lainnya yang selama ini diartikan positif. Namun demikian, sebuah ideologi kepemimpinan di luar konsepsi kebangsaan kita, tidak boleh langsung dihakimi berseberangan atau sebaliknya langsung diklaim sama dengan ideologi pembangunan yang khas dengan bangsa kita. Tanpa memahaminya secara maksimal. Perlu upaya-upaya yang terus menerus untuk menjaga tatanan nilai ideologi bangsa Indonesia dan menggali ajaran yang inspiratif untuk perkembangan pembangunan. Di era Soeharto, butir-butir Pancasila terus berkembang. Bahkan lahir beragam pandangan yang berasal dari Pancasila. Ada nilai-nilai yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa ini. Ada konsepsi pembangunan yang berbenturan dengan nilai-nilai kebangsaan. Para pemikir memahami hal tersebut. Misalnya ada label ideologi yang dicanangkan pemimpin yang dikaitkan dengan Islam. Dalam penerapannya, tidak selamanya bagus. Sejumlah kelompok mengharapkan ada perubahan sistem pemerintahan di Indonesia. Mereka ingin kembali pada hukum Alquran dan Hadis. Digali dan diambil dari sistem khilafah. Pada dasarnya hal ini mengandung multitafsir. Dalam makna general, bisa saja manusia yang lahir di dunia ini disebut sebagai proses pembentukan sistem khilafah. Artinya, manusia mewakili peran dan fungsi Tuhan di bumi. Ketika diperankan, maka diklasifikasilah manusia menjadi orang yang baik dan buruk. Pada orang yang baik, dia sudah memerankan diri sebagai wakil Tuhan. Sebaliknya orang yang buruk, dia tidak menjalankan peran dan fungsinya sebagai wakil Tuhan. Pada orang yang pertama, dijanjikan pahala. Sementara orang yang kedua dijanjikan ancaman dan hukuman. Sampai di sini, khilafah tidak menimbulkan masalah. Tetapi ketika digeser pada konsep kenegaraan dengan contoh-contoh kepemimpinan historis, akan muncul pertanyaan. Apakah kepemimpinan sekarang sangat berbeda dengan konsepsi historis kekhilafahan? Apakah model kepemimpinan berupa presiden dan gubernur tidak merepresentasikan nilai kekhilafahan? Beberapa ahli memperdebatkan masalah ini. Sebagian orang menganggapnya tidak sesuai dengan sistem kekhalifahan. Karena dibuat oleh manusia. Sehingga prosedur pengangkatan wali kota, bupati, gubernur, dan presiden bertentangan dengan sistem khilafah. Tetapi perlu diingat bahwa nilai-nilai kepemimpinan melibatkan ikhtiar, tafsir, dan pemikiran manusia. Ketika Alquran diturunkan, tidak mungkin langsung tersedia sistem kepemimpinan dan pemerintahan yang baik. Masih perlu ikhtiar pemikiran manusia untuk menerjemahkan nilai-nilai ajaran kekhalifahan dan pemerintahan yang termaktub dalam Alquran. Banyak sistem kepemimpinan yang diklaim sebagai pemimpin khilafah dan pemerintahannya dianggap islami. Tapi perlu kajian yang kuat dari para tokoh. Untuk mengklaim sistem tersebut sama dengan sistem pemerintahan pada zaman Rasulullah SAW. Yang dapat kita sepakati sebagai model pemerintahan yang islami. Apakah model sistem pemerintahan pasca Rasulullah SAW, mulai dari pemerintahan para sahabat, pemerintahan Bani Ummayyah, Bani Abbasiyah, Usmani atau otokrasi seperti Arab Saudi, dapat disebut sesuai dengan sistem khilafah? Sistem pemerintahan pasca Rasulullah SAW hanya dapat disepakati masih dalam garis Islam ketika empat khalifah pasca Rasulullah SAW yakni ketika di bawah pemerintahan Abu Bakar Siddiq RA, Ummar bin Khatab RA, Ustman bin Affan RA, dan Ali Bin Abi Thalib KWH. Tapi pasca itu, sistem pemerintahannya tidak lagi dapat disepakati oleh para ulama sebagai sistem yang islami. Selalu ada pihak yang menolak sistem pemerintahan Bani Umayyah atau Abbassiyah sebagai sistem islami. Misalnya yang lebih aktual, sistem pemerintahan Ottoman Turki. Bagi kelompok Hizbut Tahrir, pemerintahan itu model yang islami. Kerajaan ini dianggap mampu memberikan wajah kuat bagi Islam ketika Dinasti Ottoman mampu melakukan ekspansi lebih dari separuh dunia dan menyuarakan ajaran Islam di negara atau wilayah taklukannya. Namun dalam pandangan yang berbeda, ada pihak-pihak yang tidak bisa menerima warna dakwah agama yang dilakukan dengan mengorbankan darah dan air mata seperti yang dilakukan oleh Dinasti Ottoman. Karena dinilai bertolak belakang dengan nilai Islam sebagai rahmat bagi alam. Model dakwah di zaman Rasulullah, ajakan pada Islam dilakukan dengan cara seruan kepada kepala-kepala suku dan pemimpin kabilah. Islamisasi tidak dilakukan dengan cara perang. Perang atau konfrontasi fisik hanya terjadi dengan prinsip untuk membela diri. Bukan dengan cara menantang perang dan menaklukkan dengan cara perang. Dalam pandangan beberapa pihak di luar kita, Islam dipahami telah disebarkan dengan cara perang dan pembantaian. Karena kita memang punya sejarah yang demikian. Gerakan kelompok radikal akhir-akhir ini yang bertindak jauh dari nilai kemanusiaan sembari membawa simbol-simbol dan klaim Islam memperkuat anggapan negatif tersebut.  Makna diin yang membawa kedamaian dalam Islam terdistorsi karena perang, pembantaian, dan tindakan-tindakan brutal di luar kemanusiaan. Kita berkesimpulan, Ottoman hanya membangun dinasti atau kekuasaan. Bani Usmani yang terakhir mati terbunuh ketika terjadi pemberontakan. Ia dibunuh tanpa perlawanan pada saat asyik menikmati kemewahan kerajaannya. Apakah model sistem kepemimpinan dan pemerintahan di Indonesia tidak memiliki nilai-nilai islami dalam ketatanegaraan? Ada yang berpendapat, sistem pemerintahan Indonesia sudah sesuai dengan tafsir Alquran. Nilai-nilai bangsa ini memiliki akar historis ke arah yang positif. Misalnya gotong royong. Itu bisa dijadikan pondasi bagi pembangunan bangsa. Nilai-nilai gotong royong menekankan kebersamaan, team work, saling mendukung, dan saling mempercayai satu sama lain. Dalam kondisi seperti apa pun, semangat gotong royong akan memberikan kita kekuatan untuk survive. Dalam sistem gotong-royong, semua orang tidak boleh berpikir untuk kepentingan pribadi. Kita terpecah saat mendahulukan kepentingan pribadi dan mengesampingkan kepentingan orang lain. Akibatnya, muncul ego. Hal ini menggiring kita pada kehidupan liberal. Padahal gotong royong dibangun untuk melawan sistem kapitalis dan individualistik. Persatuan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi pondasi bagi sistem pembangunan. Dalam makna formal, gotong royong dibangun lewat silaturahmi. Setiap warga negara terlibat intens menutupi celah-celah kekurangan yang dijalankan pemerintah. Pola sekarang berbeda dengan sifat-sifat persatuan dan keadilan. Selama pemerintahan Presiden Jokowi, selalu dalam tekanan, intrik, serangan terhadap konsep pembangunan, sampai fitnah pada pribadi beliau. Nilai-nilai gotong royong dan keberadaban tidak diterapkan. Ada perbedaan mendasar antara kritik dengan sikap mengganggu pemerintah. Saat seseorang mengkritik, dia harus mencari solusinya. Bagi para pengganggu, sesuatu yang baik sekali pun akan diganggu. Dalam budaya gotong royong, diperbolehkan seseorang mengkritik pemerintah. Karena dia akan menawarkan solusi dan alternatif. Kalau menghina dan mencela dengan menggunakan hoaks, itu bukan kritik. Sebagai contoh pemerintahan ini diganggu bukan dikritik. Semua presiden diapresiasi positif karena mendorong pembangunan infrastruktur. Di zaman Sukarno, Soeharto, Habibie, Megawati, Gus Dur, dan SBY, tidak ada satu pun orang yang mempersoalkan pembangunan infrastruktur. Karena semua orang sepakat bahwa program pembangunan infrastruktur itu kebutuhan bersama dan baik bagi Indonesia. Tetapi ketika hal yang sama dilakukan di era Jokowi, banyak orang mencelanya. Hanya di zaman ini semua pembangunan yang dilakukan pemerintahan  sebelumnya benar tapi dianggap salah ketika dilakukan sekarang. Pembangunan infrastruktur disebut masalah. Argumentasi yang digunakan para penghujat ini sangat lemah dan tidak berdasar. Karena pembangunan infrastruktur jalan akan memberikan dampak positif bagi masyarakat. Tatanan kehidupan masyarakat akan lebih baik seiring adanya kebijakan pembangunan jalan tol. Kondisi perkotaan akan berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Tata kota yang buruk menimbulkan stres bagi penduduknya. Sebaliknya, kota yang bersih serta didukung infrastruktur yang bagus menciptakan kehidupan yang teratur dan disiplin. Pasti berbeda kehidupan orang Samarinda, Balikpapan, Bontang, dan Tenggarong. Karakteristik kota menciptakan cara pandang. Ada desain perkotaan yang membuat kehidupan orang-orang menjadi pesimis, frustasi, dan mudah bertengkar. Ada pula bentuk kota yang membuat orang-orang hidup dalam toleransi, dinamis, dan saling bekerja sama. Hal ini membuktikan bahwa negara membutuhkan pembangunan dan penataan. Ideologi-ideologi ini memberikan efek bagi pembangunan. Pada dasarnya, label tidak terlalu penting. Nilai-nilai dalam konsep pembangunan di pemerintahan harus memiliki akar budaya yang kuat. Indonesia ini tergolong bangsa yang paling kaya dengan keberagaman. Di dunia ini, tidak ada negara sekaya Indonesia. Tetapi dengan kekayaan dan keberagaman ini, kita menyadarinya sebagai keunggulan dan tantangan. Di zaman penjajahan, keberagaman inilah yang dijadikan modal untuk mengadu domba. Penjajahan selama tiga setengah abad menyadarkan kita bahwa kekayaan ini sumber persoalan. Karena itu, setiap hal yang berkenaan dengan pembangunan dan relasi sosial tidak boleh disikapi dengan egoisme pribadi dan kelompok. Jika ada ideologi yang menafikan keberagaman dan mencoba menarik bangsa ini pada garis lurus yang seragam, pasti ideologi tersebut tidak sesuai dengan bangsa ini. Keberhasilan negara dalam pembangunan tergantung kemampuan kita menggali dan merefleksikan nilai-nilai bangsa ini. Jika hal itu gagal dilakukan, maka pembangunan tidak akan memberikan dampak yang signifikan. (qn/*Politisi Partai Kebangkitan Bangsa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: