PROFESI PELAUT, SUMBER DEVISA MARITIM YANG KEHILANGAN INDUK DI DALAM NEGERI POROS MARITIM

PROFESI PELAUT, SUMBER DEVISA MARITIM YANG KEHILANGAN INDUK DI DALAM NEGERI POROS MARITIM

Oleh: Dwiyono Soeyono – Perwira Pelayaran Niaga*   Seorang Pelaut tingkat tenaga ahli Perwira Pelayaran Niaga (PPN) yang sempat mengalami permasalahan keimigrasian  di Chennai India dan ditahan disana sejak 6 September 2021, akhirnya kembali ke tanah air dengan selamat pada tanggal 28 Mei 2022. Berikut sedikit kilas balik kronologi kejadian tersebut: 6 bulan setelah ditahan berkepanjangan tanpa penanganan yang jelas, Ketua IKPPNI baru di infokan kasus tersebut tanggal 20 Februari 2022. Beserta nomer kontak korban. Setelah menerima informasi, di hari itu juga Ketua IKPPNI sebagai organisasi profesi yang juga merangkap ketua Perkumpulan Pekerja Pelaut Indonesia (P3I) sebagai serikat pekerja pelaut, memberikan arahan kepada korban agar segera membuat surat permohonan bantuan resmi kepada IKPPNI/P3I. Surat permohonan bantuan resmi diterima IKPPNI tanggal 21 Februari 2022. Inisiatif diambil ketua IKPPNI untuk langsung menyurati kedutaan India di Jakarta. Sebagai pemberitahuan kasus terkait pelaut yang ditahan di India. Dengan maksud memohon pertimbangan keringanan proses yang berlaku. Dan posisi IKPPNI/P3I adalah bersifat voluntary murni dalam kapasitas NGO yang besimpati kepada sesama profesi pelaut. Walaupun korban bukan anggota IKPPNI atau P3I. Ketua P3I juga memutuskan memberi batuan material kepada korban sebatas kemampuan organisasi/serikat pekerja pelaut sebagai tanda solidaritas dan tanggung jawab moral dukungan kepada keluarga pelaut, sesuai komitmen dari pelaut, oleh pelaut, untuk pelaut. Setelah surat dilayangkan IKPPNI, baru nampak tindak lanjut dari seluruh pihak terkait (all paries in concerns) yang hadir menangani kasus PPN yang bermasalah dengan menjalani proses sidang yang panjang dikarenakan tuduhan pelanggaran peraturan keimigrasian. Selama proses persidangan berjalan, tersangka didampingi pengacara setempat yang ditunjuk KJRI Mumbai. Koordinasi dan komunikasi dijalin intens antara korban, pengacara, KJRI dan Subdit Kepelautan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Yang menarik jika ditarik kasusnya, justru bukan kasus keimigrasian pelautnya. Namun yang menggelitik adalah pertanyaan: Pelaut ini induknya siapa? Kemenhubkah? Atau Kemenaker? Dimana serikat pekerja pelautnya yang seharusnya hadir dengan keterikatan dalam Kontrak Kerja Bersama/Collective Bargaining Agreement (KKB/CBA) yang di kukuhkan (endorse) oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut? CBA adalah aturan persyaratan wajib dalam mendapatkan perijinan bagi semua Perusahaan perekrut Pelaut (Manning agent). Dan dalam MLC-2006 juga disinggung tegas, walaupun dalam pemahaman bila diberlakukan (if applicable). Simak definisi-definisi pelaut (seafarer) dari dunia maya: https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/seafarer https://www.britannica.com/dictionary/seafarer https://www.thefreedictionary.com/seafarer

Versi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (ILO) : ( c ) istilah “pelaut” yang mencakup nelayan, mengacu pada seorang pekerja migran yang dipekerjakan di atas kapal yang terdaftar di suatu Negara yang ia bukan merupakan warga negaranya; Versi IMO : Seafarer means any person who employed or engaged in any capacity on board seagoing ship: and Versi MLC : Under the MLC, 2006, a seafarer is defined as any person who is employed or engaged or work ini any capacity on board a ship to which Con-vention applies, (see “ship” above) (Article II, paragraph 1 (f), MLC, 2006). Pelaut sepanjang hayat akan tetap melakukan kegiatan jasa profesinya dalam masyarakat dan industri sebagai kebutuhan dunia. Definisi Pelaut yang mana yang akan dijadikan pembakuan dalam segala peraturan-peraturan yang akan berlaku bagi Pelaut? Bila logika sehat para Pelaut, tentunya ya definisi IMO yang akan tetap dijadikan patokan dengan pemahaman definisi diatas. Karena IMO-lah yang mengatur pelaut dan kepelautan. Kecuali adanya ketegasan dari negara anggota IMO yang menghendaki berbeda. Karena hal demikan adala sah-sah saja. Sampai hari ini negara masih mendelegasikan mandat sebagai IMO administration adalah Kemenhub cq Direktorat Perhubungan Laut. Pelaut dan kepelautan adalah produk IMO dan otomatis induk profesinya adalah DJPL/BPSDMP. Artinya bila memang logika sehat para Pelaut yang diakomodir oleh pemerintah, semua peraturan-peraturan yang akan diberlakukan ya murni peraturan-peraturan yang merujuk kepada konvensi IMO. Bukan yang lain.Termasuk perlindungan terhadap semua kasus-kasus yang timbul bagi Pelaut. Bila keinginan Pelaut akan kepastian hukum yang berlaku bagi Pelaut sesuai dengan harapan, yaitu dibawah DJPL, lalu mengapa yang hadir menjemput Perwira Pelayaran Niaga yang kembali ke tanah air justru bukan seperti yang diharapkan? Bicara devisa sebagai pendapatan negara dari Pelaut, banyak Lembaga kementerian muncul seolah itu ranah mereka. Namun bila terjadi masalah yang tidak diinginkan bagi para Pelaut di luar negeri, lembaga-lembega kementerian seolah ingin lepas tangan. Pelaut adalah profesi lex specialis yang selalu di doktrin dengan compliance (taat perturan). Jadi apapun keputusan negara, Pelaut akan taat selama ada kepastian hukum dimana rumah mereka berpijak. Dan Pelaut tentunya merasa nyaman bila induknya yang melahirkan profesi tetap menaungi. Karena sebagai administrator pemegang mandat tentunya sudah faham apa yang harus dilakukan. Apakah Pelaut tenaga migran? Merujuk pada definisi IMO tentang seafarer, kita semua sudah dapat menyimpulkan apa jawabannya secara serentak. Sayangnya ada UU No.18 Tahun 2017 PPMI yang memaksakan bahwa Pelaut adalah tenaga migran. Apa yang salah dengan UU tersebut? Mungkin UU tersebuat dibuat oleh para pihak yang memang tidak memahami apa itu Pelaut dan tidak melibatkan pihak organisasi profesi terkait Pelaut saat merancang. Saat fase uji publik, stake holders terkait tidak diundang. Telah banyak artikel dangan pemahaman produk hukum yang baik sebagai parameter:

  1. Tidak boleh multitafsir karena kadang-kadang menafsir ikut didalamnya konflik kepentingan, ada presensi ketika menafsir regulasi itu.
  2. Tidak tumpang tindih. Idealnya jika berbicara tentang undang-undang maka peraturan teknis harus sejajar atau sebangun dengan undang-undang tersebut. Dalam sebuah postulat undang-undang, tidak boleh ada peraturan di bawah yang menyalahi peraturan diatasnya. Jika peraturan itu derivatif sifatnya, maka harus diperhatikan peraturan di bawah harus menyesuaikan dengan peraturan yang lebih tinggi atau diatasnya.
  3. Tidak ada kekosongan hukum. Jika ada hal yang tidak diatur dalam regulasi baik itu undang-undang, terkait atau peraturan lainnya, maka orang akan menafsirkan sendiri. Sebagai contoh jika tidak diatur artinya sama dengan tidak dilarang.
  4. Dapat dilaksanakan. Indahnya eloknya regulasi itu, tetapi jika tuntutan Internasional terkait Kepelautan untuk menjalankan tidak bisa, maka itu problem juga.
Bagaimana produk Undang-undang migran dengan pemberlakuannya terhadap Pelaut? Dapatkah profesi lex specialis diperlakukan dengan aturan umum? Negara harus menjawab dan menegaskan profesi Pelaut saat menjalankan jasa profesi. Dengan dampak positif signifikan menghasilkan devisa untuk negara, semua peraturan perlindungan yang berlaku tetap berdasarkan konvensi IMO atau yang lain? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: