Dunia Pendidikan Menjadi Dasar Esensi Kebhinekaan

Dunia Pendidikan Menjadi Dasar Esensi Kebhinekaan

DUNIA pendidikan merupakan dunia hasrat akan menimba ilmu pengetahuan. Menimba diartikan sebagai mendalami ilmu hingga asal muasal ilmu itu harus diterapkan. Ilmu tanpa implikasi adalah kebutaan (Tan Malaka), ilmu tanpa dicari merupakan sebuah kejahatan (M. Hatta).

Ilmu secara istilah merupakan pengetahuan yang didapat secara induktif maupun deduktif, tersusun secara sistematis dan dapat digunakan untuk menerangkan objek material maupun objek formal (KBBI). Ilmu didapatkan dari pola pikir mitosentris ke logosentris dalam mengekploitasi alam dengan segala gejalanya, sehingga menciptakan daya pikir kritis dan ditemukaanya hukum-hukum alam, serta teori ilmiah  yang menjelaskan tentang segala perubahan yang terjadi baik dialam jagad raya (makrokosmos) dan maupun alam manusia (mikrokosmos) (Dr. Amsal Baktiar). Ilmu berasal dari kata Arab yakni ‘alima, ya’lamu, yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Menurut Mulyadhi Karanegara mengatakan bahwa ilmu adalah any organized knowledge. Seiring perkembangan penerapan ilmu dari hasil daya kritis manusia, meciptakan beberapa sekat dalam ilmu dan menciptkan cabang ilmu semakin subur dengan segala variannya. Dari hasil sekat ilmu dan cabang tersebut menciptakan keegoisan dan arogansi ilmu yang satu terhadap ilmu yang lain. Keegoisan dan arogansi yang tercipta membuat ilmu jauh dari kata nilai luhur yakni menyejahterakan umat manusia tanpa pandang bulu baik agama, ras dan asal usulnya (Dr. Amsal Bakhtiar). John Naisbit mengatakan bahwa dalam perkembangan ilmu meciptakan sebuah teknologi berkembang pesat, sehingga menimbulkan gejala mabuk yang ditandai dengan beberapa indikator yakni; (1) masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah secara instan dan kilat, dari masalah agama sampai masalah gizi; (2) masyarakat takut dan sekaligus memuja teknologi; (3) masyarakat mengamburkan perbedaan antara yang nyata dan semu; (4) masyarakat menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar; (5) masyarakat mencitai teknologi dalam bentuk mainan; (6) masyarakat menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut. Dampak perkembangan ilmu pun terasa di Indonesia. Perkembangan ilmu di Indoensia diawali dengan pengaruh dari kolonialisme Belanda, berkembang hingga menjadi masyarakat konsumtif terbesar pertama di dunia. Dan menimbulkan segala macam reaksi dari sebuah persoalan dari rasialisme, penyebaran hoax dengan bentuk karya ilmiah, dan mengkikis makna ke-Bhinekaan di Indonesia. Di Indonesia dikenal dengan negara yang menerima segala perbedaan dalam masyarkatnya. Rukun dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan beragama. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya suku-suku, ras dan agama yang tersebar di Indonesia. Terbungkus dalam kata Ke-Bhinekaan Tunggal Ika, “berbeda-beda tapi satu jua”. Kata Bihneka Tunggal Ika disepakati oleh sebuah forum yang dimenghadirkan orang-orang dengan kapasitas ilmu yang tinggi. Tercipta dari sebuah sumpah pemuda yang dihadiri oleh orang-orang dari latar belakang daerah berbeda, agama yang berbeda dan ras yang berbeda. Makna kapasitas ilmu yang Tinggi diartikan sebagai manusia yang paham akan kondisi Indonesia, paham dengan Ilmu yang didalaminya sehingga perlu diterapkan di Indoneisa. Sehingga bisa merealisasikan ikatan kesaudaran dalam satu bangsa dan satu Bahasa yakni Indonesia. Konteks ke-Bhinekaan tersebut dijadikan dasar dalam menyusun segala keputusan dan kebijakan yang akan diterapkan di Indonesia. Ke-Bhinekaan menjadi gambaran dasar untuk menjalankan dan menciptakan sebuah peraturan kemasyarakatan tanpa mendiskreditkan sebuah agama, ras dan sebuah kelompok. Sehingga tercipta kebijakan dan keputusan yang menentramkan masyarakatnya. Dalam kontetks dunia Pendidikan, Ke- Bhinekaan perlu dan wajib diterapkan dalam dunia Pendidikan Tinggi. Sebagaimana wadah tempatnya orang-orang yang mengembang ilmu secara mendalam, menghilangkan dogmasisasi rasialisme merupakan sebuah hal wajib yang harus diterapkan dalam menempuh dunia Pendidikan tinggi.  Sehingga terceminkan dalam menjalankan dunia Pendidikan tinggi dalam sebuah universitas maupun sekolah tinggi. Kilas balik sejarah berdirinya dunia Pendidikan tinggi di Indonesia. Berawal didirikannya Technische Hogeschool (THS) di Bandung pada abad ke-20. Lalu berdirilah sekolah Bumi Putra didirikan pada tahun 1909 (Purnawan Basudoro). Dua Lembaga sekolah tinggi tersebut untuk memenuhi pelayanan Kesehatan pada abad ke-19 dan 20. Lalu berdiri lah sebuah Lembaga sekolah tinggi untuk memenuhi tenaga teknik, yakni sekolah Technisch Onderwijs Commissie pada tahun 1918, dan Technish Hogeschool di Bandung pada tahun 1920 (Purnawan Basundoro) Berdirinya Lembaga-lembaga perguruan tinggi di Indonesia pada zaman kolonialisme Belanda, tidak terlepas dari kebijakan Politik Etis yang awalnya diseruhkan oleh para pendukung Van Devender di negara Belanda. Politik yang menonjolkan kewajiban moral bangsa dengan kebudayaan tinggi terhadap bangsa yang tertindas. Di mana focus tujuan utamanya adalah Pendidikan dan emansipasi, menjadikan masyarakat Indonesia bisa berdiri dan mandiri di atas kakinya sendiri (Purnawan basundoro). Dari celah politik Etis yang diterapkan oleh pemerintah Kolonialisme Belanda tersebut membuahkan Rahim kesadaran masyarakat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahwa kemerdekaan Indonesia tidak melulu tentang perlawanan fisik, namun terdapat alternatif lain yakni melalui kelompok intelektual dari perguruan tinggi sebagai intinya. Berdasar latar belakang permasalahan tersebut, apakah pantas dunia Pendidikan tinggi mendiskreditkan seorang mahasiswa maupun tenaga pendidik dalam segi hal pakaian dan agama?. Baru-baru ini telah terjadi kegiatan Rasialisme oleh salah satu tenaga didik dan menjabat sebuah structural tertinggi dalam sebuah Lembaga kampus yang ada di Kalimantan Timur. Membuah sebuah tulisan yang berusurkan penyerangan sebuah kelompok dan agama. Membuat sebuah frasa “tidak satupun menutup kepala ala manusia gurun”. Hal tersebut tidak mencerminkan sebuah tenaga pendidik yang profesional dalam sebuah lembaga perguruan tinggi. Sehingga dapat mencerminkan rasialisme terhadap sebuah kelompok agama, ras dan etnis. Dalam tugas, fungsi dan pokok sebuah perguruan tinggi merupakan menerapkan TRIDHARMA Perguruan Tinggi. Yakni menjalankan Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian masyarakat. Sungguh disayangkan ketika seorang yang memiliki Pendidikan tinggi dan menjabat sebuah struktural tinggi sebuah lembaga kampus melakukan tindakan rasialisme terhadap mahasiswa dan tenaga pendidik. Hal tersebut dapat mencoreng dan membuat gaduh sistem perkuliahan dalam sebuah Lembaga kampus. Yang mana hal tersebut dapat menimbulkan kebencian dan penghinaan terhadap sara sehingga si pelaku dapat terjerat pasal 156 dan/atau pasal 157 ayat 1 KUHP Jo pasal 16 UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diksriminasi Ras dan Etnis. Dalam konteks dunia pendidikan tinggi hal tersebut harus dieliminasi sedemikian rupa, sehingga nantinya menciptkan kader-kader umat yang siap menerima kekurangan, dan kelebihan dari segala ilmu pengetahuan. Memberikan informasi kepada masyarakat dengan kehati-hatian, sehingga tidak membuat kegaduhan dari informasi yang diberikan kemasyarakat. Pendidikan sejatinya mengajarkan “merdeka sejak dari hati dan memanusiakan manusia” (Pramodea A.T). (*/[email protected] / [email protected])      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: