Frekuensi Tata Ruang Ibu Kota Negara
OLEH: SUNARTO SASTROWARDOJO*
Ibu Kota Negara (IKN) RI di sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara cepat atau lambat segera terwujud. Sejumlah asumsi atau dugaan-dugaan yang dianggap benar bermunculan. Sejumlah persepsi yang terkadang liar muncul. Karena basis pemahaman setiap orang dengan latar belakang pendidikan dan pergaulan yang berbeda.
Persepsi atau dalam bahasa Latin perceptio adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris. Guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan. Biasanya persepsi meliputi semua sinyal dalam sistem syaraf yang merupakan hasil dari stimulasi fisik atau kimia dari organ pengindra. Penglihatan, misalnya, yang merupakan cahaya yang mengenai retina pada mata; pencium yang memakai media molekul bau atau aroma, dan pendengaran yang melibatkan gelombang suara. Persepsi bukanlah penerimaan isyarat secara pasif. Tetapi dibentuk oleh pembelajaran, ingatan, harapan, dan perhatian. Persepsi bergantung pada fungsi kompleks sistem saraf. Tetapi tampak tidak ada karena terjadi di luar kesadaran. Nah, maksud saya begini. Bagaimanapun, asumsi dan persepsi yang saat ini ditunjukkan siapa pun adalah sah. Juga ketika ada yang mengatakaan ragu IKN benar-benar pindah. Relokasi IKN sudah barang tentu dengan banyak pertimbangan sosial, ekonomi, pertumbuhan kawasan hingga politik. Salah satu pertimbangan mengapa IKN harus pindah adalah frekuesnsi Jakarta. Tingkat kebisingan statis dengan frekuensi dinamik juga penyebab yang tidak disadari dan atau bahkan tidak dirasakan sebagai gangguan fisik. Karena tidak nampak sebagai material pengganggu. Intensitas suara, misalnya. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996, ambang mutu baku kebisingan lingkungan ditentukan 55 desibel (db). Padahal Jakarta saat ini, pada siang hari 75 db dan pada makam harinya 60 db. Tertangkaplah oleh asumsi, oleh persepsi warga Jakarta, bahwa paparan intensitas suara di ambang batas kebisingan psikologis ini sebagai gangguan fisik. Pasti ada yang mengatakan, ya dan ada yang tidak. Pekerja pabrik, pelabuhan laut, udara, penyapu jalanan, gelandangan, pengemis tidak peduli terhadap kebisingan ini. Sebelum lanjut, saya ingin menyampaikan begini. Frekuensi adalah ukuran jumlah terjadinya sebuah peristiwa dalam satuan waktu. Satuan yang banyak digunakan adalah hertz menunjukkan banyak puncak panjang gelombang yang melewati titik tertentu per detik. Lalu periode. Periode frekuensi adalah durasi waktu dari satu siklus dalam kejadian yang berulang. Sehingga periode adalah respirok atau kebalikan dari frekuensi. Mudahnya begini. Di layar telepon genggam biasanya ada icon pancaran yang kaprah disebut sinyal yang digambarkan dengan simbol titik atau garis atau batang yang makin membesar. Itu adalah gambaran dari frekuensi. Agar pengguna telepon genggam mengerti bahwa di suatu kawasan merupakan blank spot. Kembali ke IKN. Sejumlah ahli tata ruang, arsitek, ahli struktur, hingga sejarawan dan pakar budaya bekerja membuat konsep IKN yang futuristik. Tapi tidak meninggalkan aspek kesejarahan dan budaya. Salah satunya adalah perancang akustik lingkungan: menerapkan arsitektur kontur, membuat sungai buatan dan mempertahankan vegetasi asli. Maksudnya seperti yang saya sebutkan di atas. Agar frekuensi IKN itu memenuhi syarat ambang batas pendengaran makhluk penghuninya. IKN harus nyaman huni, aman dan menyajikan atraksi yang memenuhi kaidah perancangan. Misalnya harus sejajar dalam banyak hal dengan IKN lain yang lebih dulu dibangun. Salah satu kenyamanan yang harus disediakan IKN adalah kenyamanan akustik gedung dan lingkungan. Standar kesehatan Menkes No.718/Menkes/Per/XI/87, misalnya, tingkat kebisingan maksimum yang disyaratkan untuk kantor berkisar antara 45-50 db. Untuk bangunan rumah sakit, hotel, ruang rapat dan laboratorium bahkan lebih rendah. Untuk konsep perancangan bangunan istana negara harus dilakukan penghitungan dengan tingkat akurasi dan presisi tinggi. Misalnya parameter akustik yang diuji adalah bising latar belakang atau yang lazim disebut backround noise. Ini bisa dilakukan dengan pemilihan material akustik bangunan yang tepat dengan mempertimbangan distribusi tingkat tekanan suara, waktu dengung, Speech Transmission Index (STI) dan insulasi. Insulasi termal (isolasi termal/isolasi panas) adalah metode atau proses yang digunakan untuk mengurangi laju perpindahan panas. Panas atau energi panas bisa dipindahkan dengan cara konduksi, konversi, dan radiasi atau ketika terjadi perubahan wujud, saat kelembaban udara terjadi perubahan yang ekstrem. Parameter akustika ruang yang paling banyak dikenal orang adalah waktu dengung atau Reverberation Time (RT). RT ini dijadikan acuan awal dalam mendesain akustika ruangan sesuai dengan fungsi ruangan tersebut. RT menunjukkan seberapa lama energi suara dapat bertahan dalam ruangan. Yang dihitung dengan cara mengukur waktu peluruhan energi suara dalam ruangan. Waktu peluruhan ini dapat diukur menggunakan konsep energi tunak maupun energi impulse. RT yang didapatkan berdasarkan konsep energi tunak dapat digunakan untuk memberikan gambaran kasar. Waktu dengung ruangan tersebut secara global. RT jenis ini dapat dihitung dengan mudah. Apabila kita memiliki data volume dan luas permukaan serta karakteristik absorbsi setiap permukaan yang ada dalam ruangan. Sedangkan RT yang berbasiskan energi impulse, didapatkan dengan cara merekam respons ruangan terhadap sinyal impulse yang dibunyikan di dalamnya. Dengan cara ini, RT di setiap titik dalam ruangan dapat diketahui dengan lebih detail bersamaan dengan parameter-parameter akustik yang lain. Lalu akustik lingkungan pun di IKN harus diperhitungkan dengan teliti. Tingkat kebisingan kota di IKN tidak boleh melampaui ambang batas yang ditentukan dengan cara menekan sumber kebisingan, dengan perancangan arsitektur yang benar, memperhatikan rancangan struktur bangunan, menghitung dengan benar perancangan utilitas mekanik dan elektrik, penyelimutan bunyi dan masking noice. Dua terakhir di atas memegang peran kunci atas kebisingan kota. Yakni penyerapan bunyi dengan vegetasi dan atau kontur alam. Termasuk penentuan tapak bangunan yang dapat memanfaatkan penyerapan bunyi secara alamiah. Penyelimutan bunyi atau masking noice di beberapa negara maju sudah dilaksanakan dengan membangun sungai, kolam dan air terjun buatan. Intensitas bunyi adalah energi gelombang bunyi yang menembus permukaan bidang tiap satu satuan luas tiap detik. Pada dasarnya gelombang bunyi adalah rambatan energi yang berasal dari sumber bunyi yang merambat ke segala arah. Sehingga muka gelombangnya berbentuk bola. Karena itu, dapat disimpulkan pula bahwa bunyi termasuk ke dalam gelombang. Gelombang bunyi adalah gelombang longitudinal yang merambat searah dengan arah getaran. Gelombang bunyi merambat dengan cara merapatkan dan merenggangkan udara atau medium di sekitarnya. Bunyi memerlukan medium. Agar dapat merambat dan bisa terdengar. Udara merupakan medium yang paling umum digunakan. Seperti saat kita berbicara dengan teman. Suara yang dikeluarkan itu awalnya dari pita suara yang menggetarkan udara di sekitar. Lalu, selain intensitas bunyi yang harus diperhatikan oleh arsitek, masih terdapat satu parameter kenyamanan kota: frekuensi. Frekuensi bumi saat ini adalah 27,4 hertz. Namun ada tempat-tempat yang getaran frekuensinya sangat rendah. Seperti rumah sakit, penjara, ruang bawah tanah di bawah 20 hertz. Kebisingan kota berada di frekuensi 0,6 hingga 2,2 hertz atau jika dikonversi menjadi satuan desibel berada di angka 29 hingga 41 db (Hawkins: 1998). Sayangnya, soal kebisingan dan akustika ruang serta lingkungan belum menjadi posisi tawar utama bagi para arsitek di Indonesia. Karena memang mahal. Jika IKN menghendaki kenyamanan, maka termal dan kebisingan ditekan lebih rendah dari IKN lain. Artinya, pemerintah Indonesia sudah menghargai piranti pendengaran rakyatnya. Setidaknya intensitas bunyi di IKN harus 55 db. Agar penghuninya nyaman atau jenak atau krasan menghuni IKN dengan efektivitas dan efisiensi kerja. (*Ahli Madya Tata Ruang)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: